PASURUAN (dialogmasa.com) – Forum Gusdurian bersama sejumlah organisasi lintas agama dan pemuda menggelar diskusi film bertema toleransi berjudul “Merawat Harmoni di Kota Kartini” di Bangil, Minggu malam (15/12/24).
Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan Gusdurian, ABI Kabupaten Pasuruan, Pemuda Muhammadiyah, Pandu ABI Kabupaten Pasuruan, IPNU, dan IPPNU, Baha’i, dan lainnya.
Diskusi menghadirkan tiga narasumber: Pendeta Riani Holbala S.Th (Pendeta Gereja Purwodadi), Moh. Ikhya’ Ulumuddin Al Hikam (Penulis dan Founder Kajian Tafsir), dan Habib Abdillah Ba’bud (Ketua DPW ABI Jatim). Mereka membahas berbagai perspektif terkait toleransi, harmoni, dan pentingnya dialog dalam keberagaman.
Habib Abdillah Ba’bud mengapresiasi upaya Gusdurian dalam menyatukan perbedaan. Ia menyoroti dua akar intoleransi, yaitu fanatisme dan upaya adu domba yang sengaja diciptakan.
“Akar intoleransi itu ada dua: fanatisme dan upaya menciptakan konflik. Keduanya subur oleh provokasi,” ungkap Abdillah.

Mengutip QS An-Nahl ayat 125, Abdillah menekankan pentingnya berdakwah dengan hikmah, pengajaran baik, dan dialog tanpa paksaan. Ia menegaskan bahwa toleransi bukan berarti melebur keyakinan, melainkan saling menghargai eksistensi.
“Yang Sunni silakan Sunni, yang Syiah silakan Syiah, yang Muslim silakan Muslim, yang Kristen silakan Kristen, dan seterusnya. Toleransi berarti menghormati keberagaman,” tambahnya.
Moh. Ikhya’ Ulumuddin memuji film Merawat Harmoni di Kota Kartini sebagai karya yang inspiratif dan memperluas pemahaman tentang perbedaan. Menurutnya, intoleransi sering kali muncul akibat fanatisme dan ketidaktahuan.
“Film seperti ini perlu diputar di forum-forum dialog. Salah satu penyebab intoleransi adalah kebodohan dan kurangnya interaksi dengan kelompok lain,” ujar Ikhya’.
Saat dimintai pandangan tentang sikap masyarakat Pasuruan terhadap Syiah, Ikhya’ menekankan pentingnya dialog langsung.
“Kita hanya mendengar berita tentang kelompok lain secara parsial tanpa pernah duduk bersama mereka. Dialog adalah kunci untuk memahami perbedaan,” katanya.
Pendeta Riani Holbala mengaku terinspirasi oleh film tersebut. Ia menyebutkan bahwa film ini berhasil menunjukkan pentingnya upaya nyata untuk menciptakan harmoni dalam keberagaman.

“Saya angkat jempol untuk film ini, luar biasa dalam menggambarkan toleransi. Ternyata, di Jepara, Sunni dan Syiah bisa bersatu,” kata Riani.
Riani juga menambahkan, “Saya pikir Islam hanya satu, ternyata ada Sunni dan Syiah. Film ini membuka wawasan dan mengajarkan pentingnya hidup bertoleransi.”
Cici, moderator acara, menutup diskusi dengan pesan reflektif. “Kita hadir bukan untuk menyanjung Gus Dur, tetapi untuk menjadi jembatan keberagaman. Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan,” ujarnya.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk terus menjaga harmoni di tengah keberagaman beragama dan keyakinan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Gus Dur semasa hidupnya. (Al/Wd)