PASURUAN (dialogmasa.com) — Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kabupaten Pasuruan melakukan audiensi gabungan membahas draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Audiensi berlangsung di Gedung Rapat DPRD Kabupaten Pasuruan, Senin (14/04), dengan menyuarakan permohonan agar draf tersebut dibatalkan atau dikaji ulang karena dinilai cacat formil.
Peserta audiensi diterima oleh pansus DPRD kabupaten Pasuruan yang di pimpin oleh Yusuf Daniel dan hadir pula perwakilan dari pemerintah daerah.
Salah satu peserta audiensi, Wahyu, menilai bahwa pemahaman mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) kerap keliru di masyarakat maupun kalangan politisi. “CSR adalah manajemen dampak, bukan donasi atau upeti dari perusahaan untuk kelompok tertentu. Draf TJSL ini tidak sinkron antar pasal dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial,” ujarnya.
Wahyu menegaskan bahwa jika Raperda ini disahkan dalam bentuk saat ini, masyarakat yang terdampak langsung justru akan dirugikan. Ia juga mempertanyakan mekanisme pengawasan jika peran NGO (lembaga non-pemerintah) tidak dilibatkan dalam implementasinya.
“Jadi menurut saya, raperda terkait TJSL ini cacat formil dan tidak tepat, harus dikaji ulang dan dibahas secara kolektif dan juga selektif,” tambahnya.
Imam, perwakilan lain dalam audiensi, menyoroti pentingnya kejelasan objek usaha yang menjadi subjek dalam perda, seperti apakah CV atau PT yang dimaksud. Ia juga menyoroti posisi desa sebagai pihak yang paling terdampak oleh aktivitas perusahaan.
Senada, Hanan memberikan apresiasi terhadap niat baik dari penyusunan Raperda, namun mengingatkan agar jangan sampai ada kepentingan terselubung di baliknya. Ia juga menekankan pentingnya memperhatikan legalitas perusahaan, terutama yang bergerak di sektor pertambangan.
Direktur Pus@ka, Lujeng Sudarto, menyatakan pentingnya pengaturan tim pelaksana TJSL secara eksplisit dalam Perda, bukan hanya melalui Peraturan Bupati (Perbup).
“Saya setuju saja, namun saya berharap bahwa tim pelaksana harus diatur dalam Perda, tidak cukup di Perbup. Dari sisi kompetensinya, latar belakangnya, pola perekrutannya, dan lain-lain harus jelas. Hal ini penting karena jika tidak diatur dalam Perda dan hanya ada di Perbup, akan memicu kecurigaan masyarakat,” tegasnya.
Menanggapi masukan-masukan tersebut, perwakilan Pemda yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Bappelitbangda, Koko, menyampaikan bahwa Raperda TJSL bertujuan sebagai bentuk konsolidasi pembangunan.
“Selama ini banyak perusahaan di Pasuruan, tapi kontribusi terhadap pembangunan masih belum seimbang,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa melalui TJSL, pembangunan dapat diarahkan tidak hanya pada area sekitar perusahaan (ring satu), tetapi juga pada wilayah lain yang mengalami kemiskinan ekstrem.
Koko juga menyebut bahwa TJSL bisa menjadi alternatif percepatan pembangunan, terutama ketika pemerintah daerah menemui keterlambatan dalam intervensi proyek dari pemerintah provinsi.
Koko menambahkan bahwa perusahaan tetap diberi kewenangan untuk merancang program CSR mereka, namun harus diselaraskan dengan kebutuhan dan rencana pemerintah daerah. (AL/WD)