SEJARAH, DIALOGMASA.com – “Kemiskinan memaksa Saila untuk bekerja di usia muda demi menyokong keluarganya. Tidak diketahui tahun berapa tepatnya ia mulai bekerja untuk Eduard. Hal itu diperkirakan terjadi sebelum 1900 karena pada 1900 Saila telah menjadi pembantu rumah tangga sekaligus nyai untuk Eduard. Pada tahun yang sama, ia melahirkan seorang anak pertama ketika berumur 16 tahun—usia yang terbilang masih remaja.”
Dalam bukunya, Reggie Baay menyisipkan beberapa kisah perempuan yang pernah menjadi nyai. Salah satunya adalah Saila. Bersama Lamira, Djelema, Katijem, Djoemiha, dan sejumlah nama lainnya, ia merupakan perempuan yang pernah hidup bersama tuan mereka yang berkulit putih.
Sejak dibukanya Terusan Suez pada November 1869, jumlah orang-orang putih yang pergi ke Hindia Belanda meningkat tajam. Umumnya, mereka berstatus lajang. Kedatangan mereka sendiri tak lepas dari kesempatan kerja atau karier yang lebih banyak sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria yang memungkinkan investor asing untuk membuka perkebunan di Hindia Belanda.
Hal ini tentu saja membuat permintaan akan tenaga kerja pribumi pun naik termasuk pengurus rumah tangga. Laki-laki lajang membutuhkan seseorang untuk mengurus mereka. Untuk itulah mereka mengambil perempuan setempat sebagai pembantu rumah. Nyai, begitulah sebutan umum yang disematkan kepada para perempuan ini. Nyai bisa berasal dari perempuan pribumi entah itu Jawa atau suku lain maupun Tionghoa.
Kata “nyai” sendiri berasal dari bahasa Bali. Penggunaan kata ini sudah ada sejak abad ke-17 saat banyak perempuan Bali yang menjadi gundik atau budak orang-orang Eropa di daerah-daerah yang dikuasai VOC. Mulanya, sebutan ini bermakna perempuan biasa alias tidak mengandung konotasi negatif. Namun, pada abad ke-19, kata “nyai” identik dengan panggilan untuk perempuan yang menjalani pergundikan dengan lelaki Eropa.
Seperti yang telah disebutkan di awal, perempuan yang menjadi nyai umumnya berasal dari keluarga miskin. Ada keluarga yang terpaksa menjual anak perempuannya kepada lelaki Eropa, bahkan ada juga suami yang menjual istrinya. Di lain pihak, menjadi seorang nyai merupakan sebuah aib di mata masyarakat karena dianggap melanggar norma yang ada dan dianggap kafir karena hidup dengan laki-laki Kristen.
Ketika seorang perempuan menjadi nyai, sesungguhnya ia menjadi pembantu rumah utama yang bertanggung jawab akan segala hal terkait rumah tuannya. Status sebagai nyai bisa dilihat dari kebaya putih berenda yang dikenakan, kadang-kadang memakai perhiasan, menggunakan selop dan sebagai pelengkap, saputangan putih.
Meskipun bertugas mengatur rumah tangga, tinggal bersama, dan menjadi teman tidur di ranjang, tetapi derajat nyai tetap berada di bawah tuannya. Seorang nyai juga tidak memiliki hak sama sekali sehingga rentan sekali mengalami tindakan kekerasan atau penganiayaan. Kendati demikian, tak sedikit pula yang menjalani pergundikan atas dasar cinta. (DS)
Referensi
Reggie Baay, (2017), Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, Depok: Komunitas Bambu