OPINI, DIALOGMASA.com – Belakangan ini, dinamika di tubuh IKA PMII Pasuruan cukup menarik untuk diamati. Sejak Muscab 2022, suasananya terasa sedikit “berkepul asap panas,” dengan tarik-menarik kepentingan antar kelompok alumni. Ada yang menyebut ini pertarungan antara “kubu lama” dan “generasi menengah” yang tengah giat membawa warna baru. Tapi sejatinya, persoalan ini tak melulu tentang siapa melawan siapa. Kalau mau lebih bijak, justru ini peluang besar untuk menata ulang organisasi agar semakin relevan dengan perkembangan zaman.
Sejak awal, IKA PMII dibentuk sebagai wadah silaturahmi dan jejaring alumni lintas angkatan. Harapannya sederhana tapi penting: mengonsolidasikan potensi kader yang kini tersebar di banyak bidang — pendidikan, birokrasi, seni, wirausaha, sampai industri kreatif. Sayangnya, kadang organisasi ini malah terlalu larut dalam urusan politik praktis, sampai lupa menghidupkan kembali cita-cita awal. Ibarat orang bikin kolam ikan, sibuk pasang lampu hias tapi lupa ngasih makan ikannya.
Regenerasi pun jadi pekerjaan rumah berikutnya. Harus diakui, proses kaderisasi kadang masih kurang optimal. Akibatnya, peluang munculnya kader-kader profesional dan visioner jadi terbatas. Padahal, kita butuh sosok yang tak hanya punya rekam jejak organisasi, tapi juga wawasan luas dan keseriusan membangun jaringan alumni.
Nah, rekonsiliasi mestinya jangan hanya dilihat sebagai proses meredam konflik atau sekadar membagi kursi jabatan. Lebih dari itu, ini momentum penting untuk menggeser orientasi organisasi — dari sekadar kompetisi rebut posisi, menjadi kolaborasi membangun manfaat nyata bagi alumni. Ke depan, IKA PMII Pasuruan perlu figur-figur penghubung lintas generasi, lintas kampus, dan lintas profesi, supaya suasananya cair, terbuka, dan jauh dari sekat-sekat senioritas atau sekadar “siapa yang punya modal politik paling tebal”.
Forum musyawarah juga sebaiknya jangan hanya jadi ajang “siapa yang naik jadi ketua”. Akan jauh lebih produktif jika diarahkan pada penyusunan platform gerakan yang inklusif, adaptif, dan sesuai kebutuhan zaman. Bahkan sering kali ide terbaik justru lahir dari obrolan santai sambil ngopi. Toh, katanya kopi itu bikin melek — siapa tahu bukan cuma melek mata, tapi juga melek hati dan pikiran.
Ke depan, tantangan besar IKA PMII adalah memastikan keberadaannya membawa manfaat nyata, bukan hanya sibuk mengurus dinamika internal. Dengan pola kepemimpinan yang terbuka, kolaboratif, dan berorientasi pada karya, organisasi ini berpeluang besar menjadi motor lahirnya gagasan segar demi memajukan Pasuruan. Rekonsiliasi ini memang jalannya panjang dan tidak selalu rata. Tapi kalau kita sama-sama mau sedikit menurunkan ego, mungkin jalannya tak akan seberat yang dibayangkan — hitung-hitung olahraga sabar.
Pada akhirnya, kita semua sama-sama alumni yang pernah berproses dalam jalan panjang perjuangan. Rasanya sayang kalau energi besar itu hanya habis untuk adu gengsi semata. Bukankah lebih menyenangkan kalau nanti kita bisa duduk bareng, cerita-cerita masa lalu, sambil sesekali bercanda: “Lha iki piye, dulu rebutan posisi, sekarang rebutan bayar kopi.
Oleh : A. Anbu, Kader PMII Pasuruan yang biasa saja