Pro Kontra Sound Horeg, Timbulkan Kerusakan Bisa Kena Pasal Pidana?

Diary Warda
4 Min Read

Pro Kontra Sound Horeg, Timbulkan Kerusakan Bisa Kena Pasal Pidana?

Diary Warda
4 Min Read

DIALOGMASA.com – Baru-baru ini, seorang ibu rumah tangga di Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang protes. Pasalnya, salah satu peserta pawai budaya menggunakan sound horeg.

Masyarakat terbagi menjadi dua kubu, ada yang mendukung sound horeg merupakan bagian dari budaya. Sedangkan masyarakat lainnya menolak lantaran banyak kerugian yang dirasakan, terutama karena polusi suara.

Jauh sebelum hiruk pikuk sound horeg, masyarakat telah akrab dengan penggunaannya di era 2000-an. Sound system digunakan sebagai pelengkap hiburan di acara pernikahan. Kemudian sound horeg bertransformasi menjadi parade yang memadukan sentuhan kekinian dan elemen tradisional.

Fenomena sound horeg semakin mentereng pasca pandemi Covid-19. Saat itu, sound horeg seolah menjawab kerinduan masyarakat terhadap hiburan di luar rumah. Sound horeg menarik minat masyarakat.

Bermula dari kota Malang, geliat Sound Horeg menyebar hingga ke kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fenomena ini semakin menyebar berkat komunitas-komunitas kecil yang terbentuk.

Dilansir dari hearing healtffoundation.org, suara yang aman untuk pendengaran manusia yaitu dengan intensitas di bawah 85 desibel. Untuk durasi paparan paling lama yaitu delapan jam sehari.

Jika paparan suara di atas 85 dB dalam jangka waktu lama akan menyebabkan kerusakan pendengaran. Rata-rata suara sound horeg bahkan bisa mencapai 120 hingga 135 dB. Ribut-ribut karena sound horeg bukan sekali atau dua kali terjadi.

Video dari akun TikTok @wartawansoundhoreg yang diunggah pada 26 Oktober 2020 mengaku jika saweran di sound horeg semakin banyak.

Faktanya, banyak masyarakat merasa terganggu karena genteng dan kaca rumah rusak efek suara dari sound horeg.

Apakah korban bisa menuntut pemilik sound horeg jika terjadi kerusakan? Suara keras dari sound horeg melebihi batas wajar, sehingga dianggap mengganggu ketertiban umum.

Pasal yang bisa dijadikan landasan untuk sound horeg yaitu pasal 503 KUHP tentang pelanggaran ketertiban umum:

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:

  1. barang siapa membikin ingar atau riuh, sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu;
  2. barang siapa membikin gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan, di waktu ada ibadat atau sidang.

Penggunaan sound horeg yang menimbulkan kerusakan juga bisa dikenakan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.

Selain dua pasal di atas, jika dalam proses pemindahan sound horeg sampai terjadi perusakan rumah warga, maka pemilik bisa mengajukan gugatan pidana sesuai pasal 170 KUHP:

Adapun bunyi pasal 170 KUHP yang dimaksud adalah:

Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.

Yang bersalah diancam:

  1. dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
  2. dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
  3. dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
  4. Secara bersama-sama yang dimaksud dalam aturan tersebut artinya kegiatan perusakan dilakukan beramai-ramai oleh lebih dari 1 orang.

Umumnya penegak hukum tidak menerapkan pasal-pasal tersebut lantaran penggunaan sound horeg hanya untuk karnaval. Namun, pendekatan yang digunakan yaitu pada pengeluaran izin penggunaan sound horeg. (DH/WD)

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×