PASURUAN, DIALOGMASA.com – Ratusan warga dari tiga desa di Kecamatan Prigen mendatangi gedung DPRD Kabupaten Pasuruan, Rabu (8/10).
Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap rencana pembangunan kawasan real estate milik PT Stasionkota Sarana Permai (SSP) di lereng Gunung Arjuno–Welirang.
Warga dari Desa Pecalukan, Ledug, dan Prigen menolak karena proyek tersebut dinilai mengancam keseimbangan ekosistem, kelestarian hutan, serta ketersediaan sumber air di wilayah mereka.
Wakil Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (AMPH), Hadi Sucipto, menjelaskan bahwa PT SSP sempat meminta digelar public hearing sebagai bagian dari penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun masyarakat belum memberikan persetujuan karena masih menganalisa potensi dampak buruk dari proyek tersebut.
“Karena letaknya ada di atas permukiman antara Pecalukan dan Ledug. Dari sisi topografi saja sudah tidak memungkinkan untuk dibangun kawasan perumahan. Konsultan boleh saja mengkaji struktur tanah dan kemiringan, pandangan kami dampak buruknya jauh lebih besar dibanding manfaatnya,” ujar Hadi saat audiensi di gedung parlemen daerah.
Ia menuturkan, kawasan yang direncanakan untuk proyek merupakan area dengan tegakan pohon paling subur di lereng Arjuno dan berfungsi sebagai benteng terakhir penahan erosi dan longsor. Jika area itu digunduli untuk dijadikan kompleks perumahan, warga akan kehilangan pertahanan alami dari ancaman bencana.
Lebih jauh, wilayah yang akan dibangun juga dilintasi jalur pipa air bersih yang mengalir ke Kelurahan Ledug, Desa Pecalukan, dan Desa Dayurejo yang bersumber dari Sumber Alap-alap. Menurut Hadi, banyak pesanggem kopi yang telah lama mengelola lahan di kawasan itu dengan sistem tumpang sari, sehingga secara sosial dan ekonomi lahan tersebut memiliki nilai penting bagi masyarakat.
Hadi juga menunjukkan peta interaktif SIGAP Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berdasarkan peta itu, kawasan tersebut masuk kategori rawan erosi sedang hingga berat, serta berdekatan dengan hutan lindung Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo yang memiliki fungsi vital menjaga kelestarian air dan tanah di DAS Brantas.
“Kalau deforestasi terjadi, dampaknya bukan hanya longsor atau banjir. Tapi juga penurunan debit mata air. Sekarang saja, saat musim kemarau, masyarakat sudah merasakan berkurangnya debit air dari sumber alami,” ujarnya.
Hadi juga mempertanyakan dasar legalitas kepemilikan lahan oleh PT SSP. Dari penelusuran AMPH, lahan seluas 22,5 hektare itu sebelumnya dikuasai oleh PT Kusuma Raya Utama (KRU). Pada 2011, perusahaan itu sempat mengajukan izin pembukaan lahan untuk proyek serupa, namun ditolak dan akhirnya batal karena terkendala izin lingkungan.
Namun, pada 2021 lahan tersebut beralih tangan kepada PT SSP melalui mekanisme jual beli dan kini sudah mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang berlaku hingga tahun 2044. Perubahan juga terjadi pada peta tata ruang, di mana zona yang semula hijau (lahan konservasi dan pertanian) kini berubah menjadi kuning (zona perumahan) dalam peta RTRW Jawa Timur.
PT SSP juga telah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) yang diterbitkan pada 28 Februari 2025, dengan total luas lahan mencapai 225.000 meter persegi.
Perwakilan Perum Perhutani, Yayik, menjelaskan sejarah penguasaan lahan tersebut bermula pada tahun 1984, ketika PT Kusuma Raya Utama pertama kali mengajukan izin penggunaan kawasan hutan di Tretes.
“Kementerian Kehutanan waktu itu menyetujui dengan mekanisme tukar-menukar lahan. Rasio penggantiannya 1 banding 10, artinya lahan 22,5 hektare di Prigen diganti dengan 225 hektare lahan di Kabupaten Malang dan Blitar,” jelasnya.
Yayik menambahkan, tanah pengganti tersebut berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas agar fungsi ekologinya tetap seimbang. “Secara prosedur sudah sesuai ketentuan. Tapi soal pemanfaatan lebih lanjut, tentu harus menyesuaikan dengan kondisi kawasan sekarang. Apalagi di sekitar situ sudah banyak permukiman dan jalur air,” tambahnya.
Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Samsul Hidayat, menegaskan lembaganya akan menindaklanjuti persoalan ini dengan serius. Ia mengaku sudah menerima laporan dan aspirasi masyarakat sejak beberapa minggu lalu.
“Isu ini bukan baru kali ini dibahas. Pada periode sebelumnya juga pernah dibawa ke dewan. Kami berkomitmen menyelesaikan persoalan ini dengan terbuka dan memastikan tidak ada kebijakan yang merugikan masyarakat maupun lingkungan,” tegas Samsul. (ABI/WD)