SUDUT PANDANG, DIALOGMASA.com – Sehari setelah Peringatan Hari Pahlawan, polemik tajam merebak menyusul penetapan resmi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Keputusan ini menuai kritik keras dari Aliansi BEM Pasuruan Raya yang menilai langkah tersebut sebagai pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998.
Aliansi yang terdiri dari berbagai Badan Eksekutif Mahasiswa di wilayah Pasuruan itu menilai keputusan tersebut sebagai bentuk pengaburan sejarah dan penghinaan terhadap nilai-nilai demokrasi.
Koordinator Aliansi BEM Pasuruan Raya, Ubaidillah, dalam keterangan resminya menyatakan bahwa penetapan ini merupakan langkah yang tidak sejalan dengan nilai moral dan keadilan sejarah bangsa.
“Penetapan ini adalah tamparan bagi sejarah dan luka bagi demokrasi. Negara seakan kehilangan arah moral,” ujarnya.
Nada yang sama disampaikan oleh Emailda, selaku Pengurus Advokasi dan Gerakan Aliansi.
Ia menegaskan bahwa penetapan ini melukai rasa keadilan para korban, “Masih ada luka yang belum sembuh, trauma pemerkosaan massal, dan genosida. Aksi Kamisan masih terus dilaksanakan menuntut keadilan. Tapi kini, sosok diktator yang dulu diturunkan oleh rakyat dan identik dengan pelanggaran HAM serta korupsi, justru diangkat menjadi pahlawan. Ini penghinaan terhadap semangat Reformasi,” tegasnya.
Dalam pandangan Emailda, Hari Pahlawan seharusnya menjadi momentum untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan, bukan untuk memutihkan dosa masa lalu.
“Ketika penindas dijadikan pahlawan, maka nilai perjuangan kehilangan maknanya. Bangsa ini sedang kehilangan arah, karena lupa membedakan antara pengorbanan dan penindasan,” tambahnya.
Pernyataan senada datang dari Muhammad Qommaruddin, Koordinator Advokasi Aliansi BEM Pasuruan Raya. Ia menilai langkah pemerintah ini sebagai upaya memutar balik sejarah dan menghapus ingatan kolektif bangsa.
“Keputusan ini bukan sekadar keliru, tapi berbahaya. Ia membuka jalan bagi pemutihan masa lalu dan melahirkan generasi yang buta sejarah. Pemerintah seolah ingin menghapus fakta bahwa Reformasi lahir dari perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan rezim Orde Baru,” tegas Qommaruddin.
Ia menambahkan bahwa mahasiswa sebagai bagian dari kekuatan moral bangsa tidak akan diam melihat distorsi nilai semacam ini.
“Jika negara kehilangan nurani, maka mahasiswa harus menjadi pengingat. Reformasi adalah amanah moral yang lahir dari penderitaan rakyat. Dan kami, mahasiswa, akan terus menjaga api Reformasi agar tidak padam,” tuturnya.
Dalam refleksinya, Aliansi BEM Pasuruan Raya menilai bahwa keputusan tersebut bukan sekadar persoalan gelar semata, melainkan cermin kemunduran moral bangsa. Negara, dalam pandangan mereka, tengah melupakan luka sejarah dan lebih memilih mendandani figur lama dengan narasi baru yang menyesatkan.
“Mengangkat penindas menjadi pahlawan berarti memutar arah sejarah dan menghina para korban. Ini adalah bukti bahwa negara mulai kehilangan kompas moralnya,” demikian pernyataan resmi Aliansi.
Sebagai penutup, Aliansi BEM Pasuruan Raya menyerukan kepada seluruh mahasiswa dan masyarakat luas agar tetap kritis dan tidak mudah dibutakan oleh glorifikasi sejarah yang salah arah.
“Hari Pahlawan tahun ini seharusnya menjadi refleksi, bukan ironi. Negara boleh mencoba menulis ulang sejarah, tapi mahasiswa akan selalu menjadi penjaga kebenaran. Kami tidak menolak pahlawan, tetapi kami menolak pemutihan dosa atas nama kepahlawanan,” tegas Aliansi BEM Pasuruan Raya menyampaikan pernyataannya.
Penulis: Ubaidillah – Koordinator Aliansi BEM Pasuruan Raya Emailda – Pengurus Advokasi dan Gerakan Aliansi Muhammad Qommaruddin – Koordinator Advokasi Aliansi BEM Pasuruan Raya

