SUDUT PANDANG, DIALOG MASA.com — Sejarah bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi bagian penting dari identitas. Dari sejarah, manusia mengenal asal-usul dirinya, garis keturunan, lingkungan, budaya, hingga nilai yang melekat dalam kehidupan. Karena itu, memahami sejarah berarti memahami jati diri. Salah satu bagian penting dari sejarah di Pasuruan adalah keberadaan Candi Jawi.
Candi Jawi berkaitan erat dengan perjalanan sejarah pada rentang waktu 1250 hingga 1292, masa peralihan dari Kerajaan Singosari menuju lahirnya Kerajaan Majapahit. Periode ini menjadi salah satu fase paling menentukan dalam sejarah Nusantara.
Sumber utama yang digunakan untuk menelusuri sejarah masa tersebut adalah kitab Negarakertagama, yang telah diakui sebagai Memory of the World (Memori Dunia). Catatan dalam kitab ini dikenal sangat akurat. Penulisnya, Empu Prapanca, mengikuti langsung perjalanan rombongan kerajaan dan mencatat seluruh aktivitas raja, para bangsawan, serta peristiwa-peristiwa penting secara detail.
Dalam Negarakertagama disebutkan bahwa Candi Jawi dibangun atas perintah Raja Kertanegara, penguasa Kerajaan Singosari pada 1262 hingga 1292, atau sekitar 30 tahun masa pemerintahan. Pada masa inilah perintah pendirian Candi Jawi dikeluarkan.
Di sekitar kawasan Candi Jawi, berdasarkan tafsir dari salah satu sumber yang dibaca, terdapat masyarakat yang telah loyal terhadap Raja Kertanegara. Bukti loyalitas ini berkaitan dengan peristiwa besar yang tercatat dalam Prasasti Penanggungan atau Prasasti Gunung Butak, yang mengisahkan tentang Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara.
Peristiwa besar itu diawali oleh pemberontakan Raja Jayakatwang dari Kediri. Jayakatwang menyerang Singosari karena mengetahui bahwa kerajaan sedang dalam kondisi lemah. Pasukan-pasukan terkuat Singosari, yaitu Bhayangkara, sedang menjalankan Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera, tepatnya ke wilayah Sriwijaya, dalam rangka ekspansi kekuasaan.
Saat itu, wilayah Jawa telah dikuasai oleh Kertanegara, Bali telah ditaklukkan pada tahun 1278, dan pasukan besar dikirim ke luar Jawa. Dalam kondisi kosong inilah, Jayakatwang yang telah memperoleh informasi dari mata-matanya, melancarkan serangan. Akibatnya, Raja Kertanegara wafat.
Di tengah kekacauan tersebut, salah satu menantu Kertanegara, yaitu Raden Wijaya, yang menikah dengan salah satu putri raja—dan kemudian seluruh putri Kertanegara juga dinikahi—masih sempat melakukan perlawanan. Namun, karena kalah kekuatan, ia terpaksa melarikan diri.
Dalam pelariannya inilah terjadi peristiwa penting yang berkaitan dengan Candi Jawi. Raden Wijaya dikejar pasukan Jayakatwang hingga ke wilayah Pandaan. Salah satu teman dekatnya sekaligus pengawal Bhayangkara mengalami luka parah akibat tertusuk bambu runcing pada bagian kaki. Pengawal tersebut kemudian dititipkan di Pandaan kepada seorang kiai, sebutan bagi orang yang memiliki keahlian pada masa itu. Sementara itu, Raden Wijaya melanjutkan pelariannya.
Dari peristiwa di Pandaan inilah berkembang tafsir bahwa Gajah Mada lahir di wilayah tersebut. Tafsir ini berangkat dari kisah Gajah Pagon, pengawal Raden Wijaya yang terluka dan dititipkan kepada Ki Macan Putih. Setelah sembuh, Gajah Pagon kemudian menikah dengan putri Ki Macan Putih.
Dari garis inilah muncul tafsir bahwa Gajah Mada merupakan keturunan Gajah Pagon. Gajah Mada kemudian dikenal sebagai:
pengawal Bhayangkara,
tokoh paling tangguh,
serta pengawal paling bisa diandalkan bagi Raja Hayam Wuruk.
Kisah Candi Jawi pun tidak dapat dipisahkan dari peristiwa heroik Raden Wijaya, yang kelak dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Dari pelarian, pengkhianatan, hingga perjuangan besar, semuanya berangkat dari peristiwa yang berkaitan dengan wilayah sekitar Candi Jawi.
Dengan demikian, Candi Jawi bukan sekadar bangunan bersejarah, tetapi juga saksi penting runtuhnya Singosari dan lahirnya Majapahit—sebuah babak besar dalam perjalanan sejarah Nusantara. (Red)

