PASURUAN, DIALOGMASA.com – Direktur Pusaka, Lujeng Sudarto, menyoroti maraknya banjir di berbagai daerah Indonesia akhir-akhir ini sebagai bentuk protes alam atas kerusakan lingkungan yang dilakukan manusia.
Dalam pernyataannya, Lujeng menegaskan bahwa banjir yang terjadi bukanlah fenomena alam yang tiba-tiba tanpa sebab, melainkan konsekuensi dari perilaku manusia yang merusak.
“Banjir itu bukan kutukan langit. Itu hanyalah cara alam berkata: ‘Aku sudah terlalu lama diam terhadap rakusmu.’ Manusia menebang hutan dengan alasan pembangunan, padahal yang sedang dibangun adalah bencana. Lalu ketika air mengamuk, rumah-rumah terendam, jalan lumpuh, mereka berteriak memohon keadilan.Menyalahkan cuaca, padahal pelakunya jelas, keserakahan yang disulut oleh manusia sendiri. Bumi tidak pernah jahat, tapi ia juga punya batas sabar. Pada akhirnya yang tenggelam bukan hanya daratan, tapi juga akal sehat yang sejak awal sudah hanyut oleh ego dan kerakusan manusia terhadap alam.”
Selain soal lingkungan, Lujeng juga memberikan pandangan terkait kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang dinilainya jauh dari konsep ideal prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanya berwujud dalam slogan bukan kenyataan.
Ia menyampaikan bahwa kesenjangan demokrasi terjadi bukan pada konsepnya, melainkan pada praktiknya yang masih menyimpang dari nilai-nilai kedaulatan rakyat.
“Kesenjangan antara konsep ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’ (demokrasi) dan praktiknya terletak pada implementasi nilai-nilai kedaulatan rakyat dan partisipasi publik, di mana idealnya kekuasaan di tangan rakyat namun seringkali terjadi ketidaksetaraan (kesenjangan sosial/ekonomi). Praktiknya seringkali terhambat oleh korupsi, ketidakadilan, penelantaran hak warga, dominasi kepentingan kelompok, serta rendahnya literasi dan partisipasi kritis rakyat, sehingga praxis kedaulatan rakyat menjadi jauh dari harapan, sebatas jargon dan slogan.”
Menurutnya, kondisi tersebut tampak jelas dalam beberapa aspek kehidupan warga negara.
“Kesenjangan praxis tersebut bisa dilihat antara lain: pertama; adanya ketidaksetaraan dalam pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan peluang, yang bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Kedua; penyalahgunaan kekuasaan yang menggerogoti kepercayaan publik dan mengurangi kesejahteraan rakyat. Dan ketiga; banyaknya informasi tanpa kemampuan literasi kritis dapat menimbulkan disinformasi, polarisasi, dan ketidakmampuan rakyat dalam mengawal kebijakan.”
Lujeng menekankan perlunya langkah nyata untuk memperbaiki kondisi demokrasi di Indonesia.
“Dari kesenjangan-kesenjangan tersebut di atas, maka dibutuhkan solusi konkret antara lain: meningkatkan literasi politik dan sikap kritis masyarakat; memperkuat lembaga pengawas dan penegak hukum untuk memberantas korupsi; meningkatkan partisipasi politik yang bermakna dan inklusif; serta meningkatkan sistem pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi dan etika secara lebih substantif.” (AL/WD)

