Dosen UNU Pasuruan Kritik Revisi UU TNI: “Harus Ditolak!”

Redaktur
3 Min Read

Dosen UNU Pasuruan Kritik Revisi UU TNI: “Harus Ditolak!”

Redaktur
3 Min Read

PASURUAN (dialogmasa.com) – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan menuai gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa. Salah satu akademisi yang turut bersuara adalah Makhfud Syawaludin, dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Pasuruan.

Menurutnya, revisi UU TNI membuka peluang kembalinya Dwifungsi TNI/Polri, yang bertentangan dengan semangat reformasi.

“Revisi UU TNI yang membuka peluang kembalinya Dwifungsi TNI/Polri harus ditolak. Prajurit aktif seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan politik atau administrasi pemerintahan,” ujarnya saat dihubungi via WhatsApp, Senin (24/3).

Ia juga mengkritik proses pembahasan RUU TNI yang dinilai tidak transparan dan dilakukan secara mewah.

“Pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan dilakukan secara mewah patut dikecam, terutama di tengah jargon efisiensi yang justru memperburuk layanan publik,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Makhfud menegaskan bahwa DPR dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjaga demokrasi.

“DPR dan pemerintah perlu menolak segala bentuk pelemahan demokrasi. Menyetujui RUU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi adalah pengkhianatan terhadap reformasi,” tegasnya.

Poin-poin Perubahan dalam Revisi UU TNI

Salah satu perubahan yang menjadi sorotan dalam revisi ini adalah Pasal 7 ayat (4) tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Sebelumnya, pelaksanaan OMSP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun, dalam revisi terbaru, TNI diberikan tugas tambahan dalam OMSP, termasuk menanggulangi ancaman siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Meski demikian, belum ada definisi yang jelas mengenai ancaman siber serta mekanisme tugas TNI dalam hal ini, sehingga berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Selain itu, revisi ini juga mencakup beberapa perubahan lainnya, di antaranya:

Pasal 3: Mengatur kedudukan TNI.

Pasal 15: Menyesuaikan tugas pokok TNI.

Pasal 47: Menambah jumlah kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif dari 10 menjadi 14, termasuk Badan Keamanan Laut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung.

Pasal 53: Mengatur kenaikan usia pensiun prajurit, yakni:

– Bintara dan tamtama: 55 tahun

– Perwira hingga pangkat kolonel: 58 tahun

– Perwira tinggi bintang satu hingga bintang tiga: 60–62 tahun

Dengan sejumlah perubahan tersebut, revisi UU TNI terus menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Kritik dari berbagai pihak, termasuk akademisi, menunjukkan adanya kekhawatiran akan dampak regulasi ini terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Indonesia. (AL/WD)

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×