PODCAST, DIALOGMASA.com – Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Pasuruan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Dalam sebuah diskusi di channel YouTube Dialogmasaofficial bertajuk “Kasis kekerasan seksual bisa Dicegah, simak caranya disini,” para narasumber dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Pasuruan dan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Pasuruan hingga mahasiswa sepakat bahwa faktor ekonomi atau kemiskinan sering kali menjadi pola berulang yang menjerat korban.
Namun, kehadiran negara dalam penanganan kasus dinilai sudah membaik, meski upaya pencegahan harus diperkuat.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan, Dr. Saiful Anam, memaparkan data yang miris. “Tahun 2024, total yang kita dampingi sudah 16 kasus sampai saat ini. Jumlah ini sudah hampir mencapai angka tahun lalu, di mana total kasus yang kita dampingi sudah 20. Ini sangat miris sekali,” ujar Saiful Anam.
Ia menyetujui temuan di lapangan bahwa kerentanan ekonomi menjadi pola umum. “Rata-rata saya setuju dengan rentan kemiskinan. Ini yang bisa akan membuat suasana itu bisa menjadi pola, menjadi pola tentang kekerasan pada anak,” tegasnya.
Pengakuan Korban dan Modus Kelekatan Negatif
Aktivis Komnas PA Pasuruan, Wahyudi Tri W, yang aktif di lapangan, membenarkan pola tersebut dan berbagi pengalaman langsung dari penanganan kasus, termasuk kasus di Tutur dan Rembang.
“Rata-rata korban memang kondisinya memang, kalau bisa dibilang 90% mungkin ya, itu memang kondisi anak dalam keadaan kemiskinan,” kata Wahyudi. Ia mencontohkan kasus di Tutur yang melibatkan korban disetubuhi oleh ayah kandungnya sendiri sejak kelas 5 SD, hingga kasus di kecamatan lain yang melibatkan iming-iming uang kepada korban.
Wahyudi menjelaskan bahwa latar belakang kemiskinan sering membuat anak mencari pemenuhan kebutuhan di luar. “Anak, ketika kebutuhan di rumah tidak tercukupi, dia akan mengikuti teman-temannya yang kebutuhannya tercukupi. Bahkan, ada yang disetubuhi sampai akhirnya hamil tiga kali,” tambahnya.
Sementara itu, Dedi Tri Kuncoro dari Dinsos (yang juga memiliki latar belakang PSOS Anak dari kementerian) menyoroti aspek psikologis dari perilaku pelaku dan korban. Ia menjelaskan adanya pola “kelekatan negatif” pada korban.
“Korban itu tidak dekat dengan keluarga. Kemudian dia mencari orang di luar keluarga, kami menyebutnya kelekatan negatif. Dia lekat dengan orang yang dianggap melindungi dia, menampung apa keluh kesahnya. Setelah dia percaya pada orang itu, di situlah modusnya mulai bermain, itu namanya sistem grooming,” jelas Dedi.
Dedi juga menyentil adanya penyalahgunaan hukum. “Hal itu malah dimanfaatkan oleh pelaku dewasa dan pelaku si anak. Banyak pelaku anak itu memanfaatkan (sistem) ‘sudah, kamu silakan melakukan perbuatan, mencuri misalnya. Kira-kira di penjara paling kok nanti ada restorative justice (RJ), penggantian kerugian, selesai’,” ujarnya, menggarisbawahi celah hukum yang dimanfaatkan.
Kehadiran Negara dan Upaya Pencegahan
Dr. Saiful Anam menjelaskan bahwa peran Dinsos lebih berfokus pada penanganan kasus (respon) setelah adanya laporan.
“Polres akan meminta menyurati Dinsos untuk melakukan pendampingan secara pembuatan laporan sosial. Selama tidak ada surat dari itu, kita tidak bisa melakukan (pendampingan asesmen). Itu secara prosedural,” terangnya.
Meski demikian, Wahyudi mengapresiasi perbaikan yang dilakukan pemerintah daerah Pasuruan dalam hal penanganan, khususnya terkait biaya visum. “Dulu ada dua korban harus membayar sekitar Rp400-500 ribu. Alhamdulillah, kita advokasi sampai ke anggota dewan. Tahun berikutnya, visum sudah gratis,” tutur Wahyudi, yang merupakan hasil advokasi Komnas PA.
Namun, ia menegaskan bahwa bagian yang masih “belum tampak dilaksanakan” oleh pemerintah adalah pencegahan. “Padahal ini paling penting. Program apa problem seperti itu bisa kita atasi dengan cara program pencegahan. Sering-sering dilakukan sosialisasi,” harapnya.
Saiful Anam menambahkan, upaya pencegahan di Dinsos sebenarnya tercakup dalam program Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) melalui empat pilar:
- Pendidikan dan Mekanisme Pengasuhan Anak yang benar.
- Kesehatan Keluarga.
- Peningkatan Ekonomi Keluarga.
- Optimalisasi Pengawasan dan perlindungan secara umum.
Usulan Kurikulum Anti-Kekerasan Seksual dari Mahasiswa
Mbak Oni, perwakilan mahasiswa dari Universitas Yudharta, sepakat bahwa masalah ini dimulai dari keluarga dan fenomena fatherless (ketidakhadiran sosok ayah).
“Semua itu dimulai dari keluarga karena kemiskinan maupun kekerasan seksual itu biasanya dimulai dari keadaan di rumah. Memang banyak kekerasan seksual itu salah satunya karena fatherless itu tadi,” kata Mbak Oni.
Ia juga mengusulkan solusi jangka panjang melalui sistem pendidikan. “Saya malah sepakat kalau misalkan pendidikan anti kekerasan seksual itu dimasukkan di kurikulum pendidikan, masuk itu. Anak SD segitu harus tahu bagaimana yang boleh disentuh, bagaimana yang enggak boleh disentuh, itu kan harus ada,” usulnya.
Mbak Oni juga menekankan pentingnya membangun kembali kepercayaan anak kepada keluarga, di tengah maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat (ayah, paman, guru).
Sebagai penutup, seluruh narasumber sepakat bahwa, meski kemiskinan menjadi pola mayoritas yang menjerat korban, fokus utama harus dialihkan pada perbaikan sistem pengasuhan dan pengawasan.
Dan diskusi berakhir dengan kutipan ayat Al Qur’an oleh moderator, “Jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka.”