SUDUT PANDANG, DIALOGMASA.com – Penggunaan jalan umum oleh perusahaan tambang tanpa izin kembali menjadi sorotan publik, terutama di Kabupaten Kolaka dan sejumlah wilayah tambang lain di Sulawesi Tenggara. Praktik ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
Pasal 91 Undang-Undang Minerba dengan tegas menyebutkan bahwa setiap pemegang izin usaha pertambangan wajib memperhatikan kepentingan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan dan infrastruktur publik.
Namun di lapangan, truk-truk raksasa milik korporasi tambang justru bebas melintasi jalan umum tanpa izin, merusak aspal, mencemari udara, dan mengancam keselamatan warga. Yang hancur bukan sekadar jalan, tetapi juga martabat hukum dan rasa keadilan sosial.
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 bahkan secara eksplisit mengatur bahwa setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki izin pemanfaatan prasarana umum. Artinya, penggunaan jalan umum oleh korporasi tanpa dasar hukum merupakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat dijerat sanksi administratif hingga pidana.
Namun di Sulawesi Tenggara, praktik semacam ini seolah telah menjadi kelaziman, mencerminkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di tingkat daerah. Pemerintah daerah sering kali memilih diam, seolah lupa bahwa jalan adalah urat nadi rakyat, bukan jalur logistik korporasi.
Sultra kini menjadi cermin buram dari paradoks pembangunan sumber daya alam. Laporan menunjukkan sekitar 80.900 hektare hutan rusak akibat aktivitas tambang yang tidak profesional. Di Konawe Selatan, sawah-sawah warga gagal panen karena air tersedot untuk operasional tambang nikel.
Di Kolaka dan Bombana, banjir datang silih berganti akibat deforestasi besar-besaran. Ombudsman bahkan menemukan pencemaran air laut dan pendangkalan pantai di Blok Mandiodo akibat sisa aktivitas tambang.
Di sisi lain, 19 perusahaan tambang disinyalir merusak lingkungan namun tetap beroperasi meski izinnya bermasalah. Ironisnya, 25 perusahaan yang izinnya telah dicabut pun masih beroperasi secara terang-terangan.
Kondisi ini menggambarkan betapa kekuasaan modal telah menelikung hukum.
Jalan-jalan umum yang seharusnya menjadi simbol konektivitas rakyat kini berubah menjadi jalur pengangkut hasil tambang yang tidak memberi manfaat sebanding bagi masyarakat sekitar. Truk-truk tambang yang melintas tanpa izin bukan sekadar pelanggaran teknis; ia adalah simbol ketimpangan struktural, di mana rakyat menanggung kerusakan sementara korporasi mengantongi keuntungan.
Di tengah semua ini, pemerintah daerah seolah kehilangan arah. Ketika rakyat mengeluh jalan rusak dan udara berdebu, mereka menjawab dengan diam yang menyesakkan. Ketika hukum seharusnya menegakkan keadilan, ia justru membungkuk di hadapan modal. Padahal, negara semestinya berpihak pada kepentingan publik, bukan menjadi pelindung bagi pelanggar hukum berbaju investasi.
Jalan umum bukan sekadar aspal dan batu. Ia adalah ruang hidup rakyat — tempat anak berangkat sekolah, petani mengangkut hasil panen, dan nelayan menjemput rezeki. Ketika jalan ini dirampas dan dirusak oleh kepentingan tambang, yang dirusak bukan hanya infrastruktur, tetapi juga kepercayaan rakyat kepada negara.
Sudah saatnya hukum benar-benar hadir di jalanan, bukan hanya di ruang sidang atau rapat kabinet. Pemerintah harus menindak tegas perusahaan tambang yang melanggar izin, memulihkan kerusakan lingkungan, dan memastikan fasilitas publik kembali menjadi milik rakyat.
Karena jalan umum adalah urat nadi bangsa — dan nadi itu tidak boleh berhenti hanya karena tambang menguasai segalanya.
Oleh: Wilda Cahyani (Kader DPC GMNI Kolaka)