Artikel, DIALOGMASA.com – Maraknya aksi demontrasi yang terjadi di berbagai daerah. Mendagri, Tito pun mengajak warga untuk kembali mengaktifkan Siskamling publik. Dilansir dari kuripankiduldesa.id, Sistem Keamanan Lingkungan merupakan program yang melibatkan partisipasi aktif warga untuk menjaga keamanan lingkungan.
Apa Itu Siskamling?
Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) merupakan upaya bersama masyarakat untuk menjaga keamanan wilayah melalui kegiatan rutin seperti ronda malam dan patroli lingkungan.
Program ini melibatkan partisipasi aktif warga dengan dukungan aparat keamanan, termasuk kepolisian serta TNI, guna mencegah tindak kriminal dan menjaga ketertiban umum.
Siskamling juga menjadi bentuk nyata bela negara melalui gotong royong menjaga ketentraman lingkungan yang menjadi tanggung jawab bersama.
Kegiatan dalam Siskamling
Berikut ini kegiatan yang dilakukan selama Siskamling:
- Ronda Malam
Warga melaksanakan ronda malam secara bergiliran untuk mengawasi wilayah, mulai dari tingkat RT hingga RW. Beberapa dusun memiliki pos ronda sebagai pusat berjaga, lengkap dengan jadwal bergiliran yang sudah ditentukan.
- Patroli Lingkungan
Selain ronda malam, patroli dilakukan pada siang hari untuk memastikan kondisi lingkungan tetap aman. Kebiasaan saling menjaga antar tetangga serta budaya tolong-menolong menjadi bagian penting dalam menjaga kondusifitas wilayah.
- Pelatihan dan Sosialisasi
Masyarakat diberikan pelatihan dasar tentang keamanan dan penanganan keadaan darurat. Sosialisasi juga dilaksanakan agar seluruh warga memahami aturan dan mendukung keberlangsungan program ini.
- Koordinasi dengan Aparat Keamanan
Program Siskamling bekerja sama dengan kepolisian dan Babinsa untuk memperkuat sistem keamanan, sekaligus memastikan respon cepat terhadap situasi yang mencurigakan.
- Aturan Tamu Wajib Lapor 1×24 Jam
Setiap tamu yang menginap wajib melapor kepada Ketua RT dalam kurun waktu maksimal 1×24 jam. Aturan ini, yang diatur dalam peraturan daerah, bertujuan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat setempat.
Sejarah Siskamling di Indonesia
Di berbagai kampung, ronda malam telah menjadi bagian dari tradisi menjaga keamanan warga. Sejumlah lelaki bergiliran berjaga, memukul kentongan setiap jam, sekaligus mengambil jimpitan berupa iuran beras.
Kata “ronda” sendiri berasal dari bahasa Portugis, menunjukkan bahwa praktik ini sudah sangat tua. Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, menyebut ronda sebagai institusi pra-kolonial.
Kentongan sebagai perangkat utama telah lama digunakan untuk memberi tanda bahaya. Praktik serupa juga ditemukan di negara lain, seperti Peru pada 1980-an.
Dalam pranata tradisional Jawa, desa tidak memiliki hak memungut pajak, tetapi berwenang menuntut partisipasi warga dalam kerja desa, termasuk ronda.
Di Mangkunegaran, keamanan pedesaan dipimpin kepala distrik dengan bantuan polisi, namun warga tetap diwajibkan menjaga desa. Wasino dalam Kapitalisme Bumi Putra menulis bahwa gardu dibangun di pintu masuk desa, dijaga tiga orang setiap malam, sementara peronda membangunkan warga dengan bunyi kentongan.
Ronda juga menjadi sarana komunitas melindungi diri dari ancaman. Pada masa VOC, kelompok Tionghoa mendirikan benteng kayu dan gardu ronda setelah tragedi 1740 dan sepanjang Perang Jawa.
Pada era kolonial Belanda, tingginya kriminalitas mendorong aturan ronda wajib. Peraturan 1920-an mewajibkan kepala desa mengatur jaga malam bergilir.
Di Solo, Mangkunegara VI menekankan pengawasan ketat gardu ronda di daerah rawan. Namun, kewajiban ini kerap memberatkan warga, hingga memicu protes petani di Klaten tahun 1919.
Mereka menolak ronda malam yang dianggap membebani, meski pemerintah tetap memberi sanksi bagi yang menolak. Pada masa pendudukan Jepang, ronda menjadi tugas anggota keibodan, dibantu masyarakat sipil.
Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan konsistensi menjadi tantangan tersendiri. Diperlukan juga komunikasi dan koordinasi antara warga dan aparat setempat agar Siskamling berjalan dengan baik. (DH/WD)