PASURUAN (dialogmasa.com) – Maraknya kasus asusila dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan di Indonesia, baik yang melibatkan pelajar maupun guru, menarik perhatian masyarakat.
Isu ini juga menjadi sorotan para tokoh masyarakat di Kabupaten Pasuruan, termasuk Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kejayan, Ja’far Habibullah, dan tokoh agama Bayhaqi Kadmi atau Gus Ama’ dari Grati.
Kepala KUA Kejayan, Ja’far Habibullah, saat dimintai pendapat mengenai kemungkinan perubahan aturan batas usia pernikahan, menegaskan bahwa aturan yang berlaku sudah jelas dan baik.
Menurutnya, masalah utama kekerasan seksual dan asusila bukanlah pada aturan, tetapi lebih pada dampak digitalisasi serta pola asuh dan pengawasan terhadap anak.
“Batas usia pernikahan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,” jelasnya saat diwawancarai oleh Dialog Masa pada Selasa (01/10/2024).
Ja’far menambahkan, “Permasalahan kekerasan seksual dan asusila lebih disebabkan oleh kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua dan guru, serta lemahnya pendidikan akhlak bagi anak. Jika kasus-kasus ini dibiarkan tanpa adanya upaya perbaikan dan pencegahan dari semua pihak, termasuk pemerintah dan tokoh agama, akan sangat berbahaya.
Ia juga menyoroti peran digitalisasi dalam memudahkan akses ke berbagai konten, baik yang positif maupun negatif. “Harus ada edukasi terkait penggunaan internet yang sehat untuk mencegah dampak negatif digitalisasi,” tambahnya.
Terpisah, tokoh agama Bayhaqi Kadmi dari Grati, Pasuruan, juga mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam memilih konten di media sosial. Menurutnya, penggunaan media sosial yang tidak terkendali dapat memengaruhi moral anak didik, guru, maupun masyarakat pada umumnya.
“Pornografi menempati rating tertinggi dalam pencarian di internet, diikuti politik, game, gosip, dan lain-lain. Sementara ilmu pengetahuan dan sejarah berada di urutan bawah. Dampak dari ini semua pasti berimbas pada moral,” ungkapnya.
Bayhaqi juga menyoroti bahwa dakwah agama sering kali tidak memiliki korelasi langsung dengan kepatuhan pada aturan. Menurutnya, budaya positif yang seharusnya dipegang teguh oleh masyarakat sering kali tersisihkan oleh budaya populer dari seluruh dunia yang dapat diakses kapan saja.
“Ini adalah tanggung jawab semua pihak, baik orang tua, pendidik, maupun tokoh masyarakat. Kita semua harus lebih pandai dalam memilah mana yang baik dan buruk bagi akhlak,” tuturnya.
Ia juga mengajak masyarakat untuk berlomba menjadi teladan kebaikan. “Jangan hanya menjadi pengagum tokoh teladan, tetapi jadilah teladan itu sendiri,” pungkasnya. (Al/WD)