Kebangsaan dan Kontrak Sosial Indonesia: Perjalanan Sebuah Bangsa

gayuh
4 Min Read

Kebangsaan dan Kontrak Sosial Indonesia: Perjalanan Sebuah Bangsa

gayuh
4 Min Read

OPINI, DIALOGMASA.com – Indonesia adalah contoh unik dari sebuah bangsa (nation) yang terbentuk bukan dari kesamaan ras, etnis, atau bahasa, melainkan dari sebuah pilihan kolektif. Filosof Prancis, Ernest Renan, menyebut hal ini sebagai “jiwa, sebuah prinsip spiritual” yang lahir dari memori bersama akan masa lalu yang penuh perjuangan dan kehendak untuk hidup bersama di masa kini.

Sejarah kebangsaan Indonesia adalah narasi tentang bagaimana suku-suku yang berbeda, dari Aceh hingga Papua, bersatu melalui pengalaman penderitaan yang sama di bawah kolonialisme. Peristiwa seperti Sumpah Pemuda 1928 bukanlah sekadar deklarasi politik, melainkan sebuah “plebisit sehari-hari” yang menegaskan keinginan untuk menjadi satu bangsa. Komitmen ini diperbarui setiap hari melalui penggunaan Bahasa Indonesia, pengamalan Pancasila, dan pengakuan terhadap keberagaman.

Kontrak Sosial Dari Proklamasi hingga Reformasi

Filosof politik Inggris John Locke, menyimpulkan gagasannya bahwa setiap negara didirikan berdasarkan sebuah kontrak sosial di mana rakyat menyerahkan sebagian hak mereka kepada pemerintah dengan imbalan perlindungan atas hak-hak alami mereka: hak hidup, hak kebebasan, dan hak kepemilikan.

Sejak Proklamasi 1945, rakyat Indonesia telah membuat kontrak ini. Namun selama dua Orde, yakni Orde Lama dan Orde Baru, kontrak sosial ini dianggap telah rusak karena terjadi penyimpangan atas tujuan bernegara, pemerintah gagal melindungi hak-hak dasar dan justru melakukan pelanggaran atas nama otokrasi Sukarno dan pembangunanisme Suharto.

Maka, Reformasi 1998 dapat dipahami sebagai upaya rakyat Indonesia untuk menegosiasikan kembali kontrak sosial yang telah dilanggar. Rakyat, yang bertindak sebagai “tuan” dari kedaulatan, menuntut pemerintah untuk kembali pada tujuan aslinya yang tertulis dalam Mukadimah UUD 45 alinea 4, yang berisi;

“…. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Jika dirangkum dalam semangat reformasi maka koreksi gelombang reformasi 98 bermuara pada cita-cita untuk menjamin demokrasi, menegakkan supremasi hukum, memberantas korupsi, dan melindungi hak asasi manusia.

Mengukur Kesinambungan Indonesia

Menjelang 80 tahun proklamasi kemerdekaan ini kita berkesempatan sejenak untuk merenung kembali perjalanan kebangsaan Indonesia yang menunjukkan dinamika yang kompleks. Dari satu sisi, komitmen terhadap “plebisit” Renan masih kuat. Bahwa rakyat Indonesia secara umum memang tetap setia pada gagasan satu bangsa di tengah ancaman disintegrasi. Saat ini memang demokrasi prosedural telah berhasil dibangun, dengan pemilu yang menjadi ritual “plebisit” periodik yang melegitimasi pemerintah.
Namun, dari sisi lain, kontrak sosial Locke menghadapi tantangan besar. Meskipun kebebasan politik dan sipil telah meningkat, isu-isu seperti korupsi, penguatan oligarki, dan pelemahan lembaga-lembaga hukum menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak properti dan memastikan keadilan bagi semua warga negara. Kondisi ini bisa mengikis kepercayaan publik dan mengancam keberlanjutan kontrak sosial.

Indonesia adalah sebuah karya yang terus-menerus dibangun, sebuah kombinasi unik dari semangat kebangsaan ala Renan dan kesadaran kontrak sosial ala Locke. Kebangsaan kita tidaklah statis, melainkan sebuah komitmen yang diperbarui setiap hari. Demikian pula, kontrak sosial kita bukanlah perjanjian yang sudah selesai, seperti ritus perayaan kemerdekaan 17 agustusan tanpa makna, melainkan sebuah tanggung jawab yang terus-menerus diuji oleh tantangan-tantangan internal.

Oleh karena itu, kesinambungan Indonesia di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan rakyatnya untuk terus menuntut pertanggungjawaban dari negara, memastikan bahwa plebisit kebangsaan dan kontrak sosial tetap hidup, relevan, dan terus melayani kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir elite dengan sokongan oligarki.

By. Dudung Jumantarisawan

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×