ARTIKEL, DIALOGMASA.com – Tradisi pemberian karangan bunga dalam momen duka cita masih berlangsung luas di Indonesia. Namun, cara masyarakat memaknai pemberian tersebut kerap berbeda, terutama bila dilihat dari latar belakang kelas ekonomi.
Dalam KASTA: Jurnal Ilmu Sosial, Agama, Budaya, dan Terapan (Vol. 3, 2023) dijelaskan bahwa tidak ada aturan hukum yang mengikat mengenai pemberian karangan bunga. Hal ini diperbolehkan selama dimaksudkan sebagai bentuk penghiburan bagi keluarga yang sedang berduka.
Bagi kalangan atas, karangan bunga kerap dipandang sebagai simbol penghormatan sekaligus bentuk sentimentalitas. Jumlah dan besarannya bahkan dapat mencerminkan status sosial seseorang. Keberadaannya dianggap lebih pantas dibandingkan pemberian uang duka secara langsung, yang dalam beberapa kasus justru bisa menyinggung perasaan keluarga yang ditinggalkan.
Sebaliknya, pada kalangan menengah ke bawah, pemberian uang duka seringkali dinilai lebih bermanfaat. Uang tersebut dapat membantu meringankan biaya penyelenggaraan tahlil maupun kebutuhan lain setelah kematian. Jika dibandingkan, biaya satu karangan bunga berkisar ratusan ribu rupiah. Apabila dana yang sama diberikan dalam bentuk uang tunai, nilainya bisa lebih berdampak bagi keluarga yang berduka.
Aspek ekonomi juga melekat pada praktik ini. Dalam kajian I Made Marthana Yusa pada Jurnal Studi Kultural (2017), disebutkan bahwa pengrajin bunga memperoleh keuntungan besar ketika terjadi peristiwa duka yang melibatkan tokoh publik. Contoh yang pernah terjadi adalah ketika Ibu Tien Soeharto meninggal dunia, di mana para pengrajin menerima pesanan dalam jumlah yang sangat tinggi.
Perbedaan makna antara karangan bunga dan uang duka menunjukkan bahwa tradisi ini tidak dapat dipandang secara tunggal. Kelas sosial ekonomi menjadi faktor penentu dalam cara masyarakat memaknai, menerima, atau menolak bentuk pemberian duka cita tersebut. (Ida Farehah)