PASURUAN (dialogmasa.com) – Ketupat menjadi salah satu ikon kuliner yang tak terpisahkan dari perayaan Hari Raya Idulfitri di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa. Di balik tampilannya yang sederhana, ketupat menyimpan nilai simbolik yang mendalam, sebagaimana disampaikan oleh sejarah dan masyarakat setempat.
Menurut catatan Historia, tradisi ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai bagian dari syiar Islam di tanah Jawa. Anyaman janur yang rumit mencerminkan kompleksitas masyarakat Jawa kala itu.
Bentuknya yang saling terjalin juga melambangkan pentingnya menjalin silaturahmi tanpa memandang perbedaan kelas sosial. Simbol dalam ketupat itu luar biasa. Ada filosofi ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat laku kehidupan dalam Islam).
Khoirul warga Pasuruan, kepada wartawan menilai bahwa dakwah para wali zaman dahulu sangat halus, dengan menyelipkan nilai dan pembelajaran melalui makanan dan budaya.
“Nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendahulu harus kita praktikkan. Silaturahmi jangan hanya dijalin dengan orang-orang yang kita anggap baik atau menguntungkan saja, tapi juga dengan siapa pun, tanpa membedakan status sosial,” ujarnya kepada wartawan, Minggu (6/4).
Khoirul juga menekankan pentingnya makna ketupat dalam konteks halal bihalal. Menurutnya, momentum itu seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi menjadi ruang untuk perbaikan dan introspeksi diri yang berdampak bagi hari-hari berikutnya.
Di masyarakat Jawa, ketupat umumnya muncul pada hari ketujuh Lebaran. Selain disantap bersama keluarga, ketupat juga dibawa ke surau atau langgar untuk didoakan bersama, sebelum kemudian dimakan secara berjamaah oleh warga sekitar.
Melalui ketupat, warisan budaya dan nilai spiritualitas Islam berpadu dalam satu sajian yang tak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan dan sosial umat. (AL/WD)