DEEP NEWS, DIALOGMASA.com – Permasalahan pengangguran di Kabupaten Pasuruan selalu hangat dibicarakan. Terlebih setelah Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) menilai salah satu penyebab tingginya pengangguran terletak pada karakter pencari kerja yang dianggap kurang berani mengambil tantangan dan enggan keluar dari zona nyaman.
Namun, sejumlah pihak menilai persoalan tidak sesederhana itu, melainkan juga terkait minimnya sosialisasi program, relevansi pelatihan, serta pendampingan berkelanjutan.
Disnaker: Karakter Pencari Kerja Jadi Faktor
Kepala Bidang Tenaga Kerja Disnaker Kabupaten Pasuruan, Didit Isananto, menyebut permasalahan pengangguran usia produktif (18–50 tahun) berada pada karakter pencari kerja itu sendiri.
“Permasalahan pencari kerja usia 18–50 tahun yang termasuk produktif itu ada pada karakternya,” terangnya. “Mereka kurang berani mengambil tantangan untuk mengikuti pelatihan yang disediakan melalui BLK Rejoso, UPT LKD Disnaker, atau BLK Jatim.”
Menurutnya, meski sudah ada strategi penyuluhan melalui bimbingan jabatan, pondok pesantren, bursa kerja khusus, hingga ke desa-desa, animo masyarakat tetap rendah.
“Mereka tidak mau mengikuti pelatihan atau bahkan datang pun tidak, padahal BLK sudah menyiapkan jalur formal menuju perusahaan. Ada hampir 2.200 manufaktur yang membutuhkan tenaga kerja, tapi karena skill tidak ada maka mereka terpinggirkan.”
Ia menambahkan, bahkan saat digelar job fair berbasis barcode, tingkat kehadiran peserta juga rendah. “Rata-rata kurangnya animo peningkatan skill,” ungkapnya.
BEM Pasuruan: Tidak Perlu Menyalahkan Karakter Pencari Kerja, Evaluasi Sistem Lebih Dibutuhkan
Aliansi BEM Pasuruan Raya menilai pernyataan Disnaker perlu dikaji ulang agar tidak terkesan menyalahkan masyarakat.
“Sangat tidak bijak jika Disnaker melempar kesalahan kepada masyarakat dengan menyebut karakter mereka bermasalah,” tegas M. Ubaidillah Abdi, Koordinator Aliansi BEM Pasuruan Raya.
“Disnaker dibiayai oleh uang rakyat untuk menciptakan solusi, bukan mengeluh dan menyalahkan masyarakat.”
Menurutnya, tantangan utama justru ada pada tahap penyebaran informasi. “Masih ada desa yang mengaku belum pernah menerima sosialisasi. Bagaimana mungkin program bisa diminati kalau informasinya saja tidak sampai?” tambahnya.
Desa: Minim Pembinaan Pasca-Pelatihan
Sejumlah perangkat desa membenarkan bahwa informasi memang pernah disebarkan, tetapi faktanya tidak menarik minat warga.
Saat ditanya apakah ada program yang masuk ke desanya, salah satu perwakilan desa menjawab, “Belum ada, kecuali kalau pihak desa sendiri yang meminta ke Disnaker.”
Namun ketika dikonfirmasi ulang mengenai klaim Disnaker yang menyebut sudah melakukan sosialisasi, ia menegaskan, “Memang sudah disebarkan ke beberapa desa, tetapi sebagian besar warganya tidak berminat.”
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan minimnya animo masyarakat. “Pesertanya banyak yang tidak berminat karena tidak ada pembinaan dan bimbingan berkelanjutan setelah pelatihan selesai.”
Pernyataan ini memperkuat pandangan bahwa persoalan utama bukan semata pada karakter pencari kerja, melainkan juga ketiadaan pendampingan pasca-pelatihan.
Pandangan Pendidik: Tantangan Niat, Pola Pikir, dan Mentalitas
Dari sisi pendidikan, persoalan pengangguran juga dikaitkan dengan kesiapan lulusan menghadapi dunia kerja. Samsul Hadi, Ketua MKKS SMKN Kabupaten Pasuruan, menyebut banyak lulusan belum sepenuhnya siap.
“Tujuannya sekolah mencari ilmu, sedangkan anak-anak tujuannya mencari kerja,” ujarnya.
Menurutnya, kompetensi yang diajarkan bisa ratusan, tetapi tidak semuanya sesuai kebutuhan industri, “Problem utamanya ada pada niat anak-anak dan orang tuanya. Nilai juang masyarakat kadang rendah, sehingga peluang kerja diisi oleh orang luar yang etos kerjanya lebih kuat.”
Ia juga menyinggung budaya masyarakat lokal. “Budaya masyarakat sini pokoknya kumpul keluarga. Akhirnya ketika ada lowongan malah terisi oleh orang luar,” jelasnya.
Netizen: Sosialisasi Perlu Dimaksimalkan dengan Cara Kreatif
Kritik dari masyarakat melalui media sosial menyatakan bahwa sosialisasi bisa lebih masif. Seorang netizen menulis:
“Bukan minimnya minat atau karakter bermasalah. Pemerintah lebih fokus melaksanakan event. Coba fokus menginfokan program-program ketenagakerjaan melalui RT tiap desa. Cari sosok-sosok kreatif produktif untuk jadi mitra membangun skill SDM melalui Disnaker.”
Komentar ini menekankan perlunya strategi komunikasi publik yang lebih kreatif, maksimal, dan dekat dengan masyarakat desa.
Warga Pasuruan: Pencari Kerja dari Keluarga Miskin Sulit Fokus
Orang yang sedang mencari kerja terkadang tidak bisa berpikir jernih. Saat keadaan serba kekurangan, satu masalah kadang menimbulkan atau memperberat masalah lainnya.
Misalnya pencari kerja adalah remaja dari keluarga miskin. Maka fokus ikhtiarnya dalam mencari kerja terganggu atau terbebani oleh keadaan keluarga. Konsentrasinya terpecah dengan kesibukan dan kesulitan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Fakta itu nyata. Maka problem pengangguran terkadang terkait dengan problem lainnya, seperti mahalnya bahan pokok, kesulitan mobilitas akibat minim modal, hingga adanya anggota keluarga yang sakit. Masalah-masalah itu saling membebani.
Karena itu, pemerintah perlu melihat secara lebih luas. Semua aspek harus dievaluasi dan diwujudkan dalam perubahan nyata.
Pendidikan misalnya, perlu menambah skill marketing dan manajemen keuangan. Sebab terkadang skill dan pengetahuan dari sekolah tidak bisa dioptimalkan karena kurangnya kemampuan dalam dua bidang tersebut.
Kebutuhan pokok (sembako) dan energi juga harus diupayakan agar lebih terjangkau. Tren harga bahan pokok dari tahun ke tahun terus naik. Entah bagaimana caranya, tetapi jika pemerintah berpikir keras, pasti bisa secara bertahap menurunkan harga beras, telur, minyak, listrik, dan lain-lain.
Penutup: Potret Pandangan yang Beragam
Dari berbagai pandangan, terlihat bahwa persoalan pengangguran di Pasuruan tidak bisa disederhanakan hanya pada faktor individu atau sistem semata. Ada dimensi karakter, budaya, komunikasi, pendidikan, hingga strategi program yang semuanya saling berkaitan.
Alih-alih mencari siapa yang salah atau benar, pandangan-pandangan ini dapat menjadi bahan evaluasi bersama, terutama bagi pemerintah selaku eksekutor program, agar program ketenagakerjaan lebih efektif, tepat sasaran, dan benar-benar memberi dampak nyata bagi masyarakat — salah satunya dengan turunnya angka pengangguran. (FZ/WD)