Nilai dan Norma sebagai Ketahanan Nasional; Belajar Dari Republik Islam Iran

Diary Warda
4 Min Read

Nilai dan Norma sebagai Ketahanan Nasional; Belajar Dari Republik Islam Iran

Diary Warda
4 Min Read

OPINI, DIALOGMASA.com – Perang terbuka antara Israel dan Iran yang meletus pada 13 Juni 2025 bukanlah sekadar benturan senjata, tetapi ujian bagi identitas nasional dan daya tahan sebuah bangsa. Dalam gempuran udara yang silih berganti, sabotase siber, dan provokasi internasional, Iran tetap berdiri. Pertanyaannya: mengapa Iran bisa bertahan sejauh ini?

Jawabannya tidak terletak semata pada misil atau sistem pertahanan udara, melainkan pada sesuatu yang lebih dalam ideologi, nilai, dan norma yang telah dibangun selama lebih dari empat dekade sejak Revolusi Islam 1979.

Ideologi Perlawanan yang Sudah Mendarah Daging

Sejak Ayatollah Khomeini menggulingkan rezim Shah, Iran menjadikan ideologi anti-zionisme dan anti-imperialisme sebagai bagian tak terpisahkan dari jati dirinya. Dalam narasi resmi, Israel bukan hanya musuh geopolitik, tetapi simbol dari penindasan global. Maka ketika roket-roket Israel mulai menghantam wilayah barat Iran pada 13 Juni 2025, respons yang muncul bukan kepanikan, tapi konsolidasi.

Bagi Iran, konflik ini bukan sekadar pembalasan terhadap pembunuhan ilmuwan atau serangan terhadap basis milisi pro-Iran di Suriah. Ini dianggap kelanjutan dari “perlawanan suci” (muqawama) yang telah diwariskan lintas generasi. Ideologi ini membuat rakyat Iran tidak melihat perang sebagai kekalahan, melainkan pengabdian.

Nilai Kolektif: Martir dan Ketahanan

Tidak seperti masyarakat negara-negara lain yang mungkin terpecah saat krisis, masyarakat Iran justru menguat ketika berada dalam tekanan. Nilai martir, yang berakar dalam tradisi Syiah sejak peristiwa Karbala, kembali mengisi ruang publik. Jalan-jalan di Teheran dipenuhi mural para syuhada terbaru yang gugur dalam serangan udara Israel. Bagi rakyat Iran, mati dalam membela tanah air adalah kemuliaan, bukan tragedi semata.

Inilah yang membedakan Iran dari banyak musuhnya: kekuatan mental kolektif. Di tengah embargo, inflasi, dan serangan militer, Iran tetap mampu menjaga kohesi sosial. Solidaritas tidak dibangun dari slogan belaka, tetapi dari sistem nilai yang terus direproduksi melalui keluarga, pendidikan, dan agama.

Norma Disiplin dan Mobilisasi Sipil

Satu hal yang patut dicermati dari konflik ini adalah kecepatan mobilisasi masyarakat Iran. Dalam hitungan jam setelah serangan Israel pertama, jaringan Basij—organisasi relawan sipil—sudah mengatur dapur umum, distribusi obat, dan pos-pos pertahanan sipil. Masjid-masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi juga pusat logistik. Norma sosial yang mengutamakan kolektivitas dan kesiapsiagaan terbukti menjadi senjata non-militer yang sangat efektif.

Bahkan para pemuda Iran, yang selama ini dianggap kritis terhadap pemerintah, banyak yang secara sukarela mendaftar sebagai sukarelawan. Dalam kondisi terancam dari luar, perbedaan internal disimpan untuk sementara. Yang muncul adalah nasionalisme spiritual—sebuah bentuk perlawanan yang tak bisa dibom atau disabotase.

Penutup

Perang Israel-Iran 2025 diprediksi akan meluas dan panjang. Tapi jika ada satu pelajaran penting yang bisa kita tarik dari konflik ini, itu adalah bahwa bangsa dengan ideologi kuat, nilai kolektif yang tangguh, dan norma sosial yang disiplin punya daya tahan yang tak bisa dihancurkan hanya dengan senjata. Iran telah membuktikan bahwa dalam peperangan modern, kekuatan mental bangsa bisa sama mematikan—atau bahkan lebih abadi—dibanding bom pintar dan drone bersenjata.

Mari belajar dari Iran!!!
Dosen HI UB Abdullah,M.Hub.Int
Malang, Senin 16 Juni 2025

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×