MALANG (dialogmasa.com) — Memeringati HUT Kota Malang ke-111 tahun diselenggarakan Sarasehan Diskusi Literasi Sejarah. Mengambil tema Hastakutha Malang (Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Malang Lintas Masa) di Gedung Gramedia Kayutangan lantai dua, Jalan Basuki Rahmad. Acara ini terbagi dalam dua perspektif yaitu Kota Malang pada era kolonial dan Kota Malang sebelum kolonial atau masa klasik.
Sarasehan yang dimulai pada pukul 18.30 WIB ini dibuka dengan pertunjukan musik etnik oleh Ayim Aryanatta. Sebelumnya, Agung Buana selalu pemerhati sejarah menunjukkan dokumen mengenai penetapan Kota Malang sebagai gemeente (kota praja) dan ketiadaan walikota sebagai pemimpin kota sehingga dibentuk gemeente recht yang bertugas mendirikan pasar, pemadam kebakaran serta mengurusi air.
Usai penampilan Ayim Aryanatta, acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan salah satu dari dua narasumber yang dihadirkan, Reza Hudiyanto, sejarawan sekaligus penulis sejarah Kota Malang. Alumnus UGM ini mendapat kesempatan pertama memberikan penjelasan Kota Malang era kolonial. Ia memulai secara singkat mengenai Malang pada masa klasik.
“Malang itu diibaratkan sebagai kota yang tiba-tiba muncul. Sebelumnya, Malang tidak dikenal karena berada di pedalaman. Malang baru terbuka karena ada tanam paksa setelah Perang Jawa,” ucapnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa perkebunan menjadi faktor penting munculnya Kota Malang. Terkait hal ini, ada sekitar tujuh puluh perusahaan Belanda yang memiliki bisnis perkebunan di Malang. Dalam pemaparannya di hadapan para peserta ia memberitahu wilayah Kota Malang tahun 1882. Menurutnya, kota ini sebenarnya sudah ada sebelum tahun 1914.
Beralih saat balai kota diresmikan tahun 1929, Reza Hudiyanto menjelaskan tentang kearifan lokal yang ada di gedung ini yaitu atap tumpang khas Jawa. Selama periode 1917 hingga 1930 terjadi pembangunan besar-besaran oleh pemerintah kolonial. Selain itu ia menjelaskan fakta penting lainnya bahwa adanya pengembangan bouwplan hanya ada di Kota Malang karena tanah masih tersedia sangat banyak.
“Pembangunan yang banyak selama periode tersebut karena pemerintah kolonial lagi banyak uang. Tak hanya itu, kota ini juga mengalami modernisasi seperti penggunaan air ledeng dan kota tidak hanya menjadi tempat penjualan hasil pertanian,” jelasnya.
Menurut dosen UM ini pada tahun 1930 menjadi puncak perkembangan Kota Malang terutama terkait bidang arsitektur dengan adanya Gedung Kembar Rajabally. Keberadaan gedung ini juga menjadi landmark Kota Malang.
“Saya itu saat berbicara tentang pembangunan era kolonial bukan bermaksud membanggakan peninggalan-peninggalan Belanda meskipun bangunan-bangunan tersebut masih ada hingga sekarang. Di samping itu dulunya Malang itu berkonsep garden city makanya di kota ini banyak tamannya. Meskipun sudah banyak yang hilang,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti keberadaan Javasche Bank yang menjadi penanda bahwa transaksi ekonomi Kota Malang juga termasuk tinggi. Terkait kegiatan ekonomi ini, Agung Buana juga mengemukakan pasar besar yang dibangun di masa kolonial sudah termasuk pasar modern karena adanya pembagian-pembagian bedak pasar.
Sementara itu, Dwi Cahyono yang menjadi narasumber kedua menjelaskan sejarah Kota Malang di era klasik. Dalam pembukaannya, ia mengoreksi tentang hari jadi Kota Malang ke-111 tahun yang lebih tepat disebut hari jadi pemerintahan Kota Malang sedangkan hari jadi kota ini jauh sudah ada sebelumnya alias sudah ada sebelum tahun 1914.
“Sebelum ada Kota Malang, sudah ada pemerintahan yang disebut kadipaten. Kadipaten ini berbeda dengan kabupaten. Dalam perjalanannya, kadipen-kadipaten ini menyatu menjadi kabupaten. Begitu pula yang terjadi di Malang,” jelas dosen sejarah UM ini.
Dwi Cahyono menjelaskan suatu tempat dipilih menjadi pusat pemerintahan tak lepas dari faktor geografis serta eksistensi sosial-budaya yang teratur. Ia juga mengemukakan tentang pusat pemerintahan tertua di Malang yang berada di Desa Kejuron yang menjadi pusat pemerintahan Kanjuruhan.
Sesuai tema, setidaknya ada delapan kuta di daerah Malang yang pernah menajdi pusat pemerintahan kerajaan selama periode klasik. Selain Desa Kejuron, adapula Tembalangan, Kutharaja, Kabalon, Sipit Urang, Karangat, Madyopuro, dan Kampung Katumenggungan. (DS/WD)