Perubahan Bangsa di Ujung Jurang, di Mana Peran Ulama’?

Redaktur
3 Min Read

Perubahan Bangsa di Ujung Jurang, di Mana Peran Ulama’?

Redaktur
3 Min Read

PASURUAN (dialogmasa.com) – Narasi pesimistis tentang kondisi bangsa Indonesia kembali ramai diperbincangkan publik. Sejumlah ekspresi kekecewaan terhadap pemerintahan mulai dari ungkapan β€œKabur aja dulu, Indonesia gelap” hingga lagu-lagu protes yang menyindir instansi pemerintah kerap muncul di ruang publik.

Di saat yang sama, pemberitaan mengenai kasus korupsi dengan nilai fantastis yang melibatkan instansi pemerintah terus bermunculan. Fenomena ini memunculkan kembali pertanyaan tentang akar permasalahan yang menyebabkan perilaku koruptif masih terus terjadi.

Pemikir kebhinekaan, Sukidi, dalam artikelnya di Kompas (3/4/2025) berjudul Mewaspadai Berbagai Kemungkinan, menyoroti sulitnya melawan praktik otoritarianisme dan korupsi. Ia menyebut bahwa alih-alih memberikan keteladanan dalam bernegara yang jujur, sejumlah pemimpin justru merusak bangsa melalui tata kelola pemerintahan yang buruk. Dalam tulisannya, ia menyinggung praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai bentuk penyimpangan serius.

Banyak pihak menyebut bahwa mahalnya biaya demokrasi menjadi salah satu faktor utama yang melanggengkan praktik korupsi. Besarnya biaya yang dikeluarkan dalam proses pemilihan kerap dianggap sebagai hal lumrah, sehingga berdampak pada perilaku pemimpin saat sudah menjabat.

Jika dinilai bahwa mahalnya biaya demokrasi sebagai akar prilaku koruptif, maka pertanyaannya, Siapa yang bertanggung jawab?

Apakah politisi yang menggunakan kekuatan uang untuk mendapatkan suara rakyat, atau rakyat yang karena kondisi ekonomi menerima uang dari politisi?

Direktur Pusat Studi Advokasi dan Kebijakan Publik (Pus@ka) Pasuruan, Lujeng Sudarto dalam sebuah wawancara pada Jumat (4/4). Ia balik mempertanyakan perilaku siapa yang membuat demokrasi menjadi mahal.

β€œYang membuat demokrasi mahal itu perilaku siapa?” tanya balik Lujeng saat menjawab pertanyaan wartawan.

Ia juga menegaskan bahwa tanggung jawab atas mahalnya demokrasi tidak hanya dibebankan pada politisi dan rakyat semata, melainkan juga para agamawan.

β€œKalau ditanya siapa yang bertanggung jawab, ya semuanya harus bertanggung jawab, termasuk para agamawan,” lanjutnya.

Lujeng menyebut bahwa dalam berbagai forum resmi, dirinya kerap menantang para agamawan untuk mengeluarkan fatwa haram terhadap politik uang. Namun, menurutnya, respons yang diterima kerap menghindar dengan alasan-alasan fikih yang tidak menyentuh esensi persoalan.

Pernyataan ini memunculkan diskusi lanjutan mengenai sejauh mana peran ulama dalam membangun perubahan di tengah situasi bangsa yang kompleks. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mencegah praktik politik uang yang dinilai sebagai pintu masuk terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Siklus ini dinilai berlangsung terus-menerus. Masyarakat menerima uang dari politisi karena kebutuhan ekonomi, sementara politisi merasa perlu mengeluarkan uang demi mendapatkan suara. Ketika menjabat, politisi merasa terpaksa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kampanye.

Peran aktif ulama dalam persoalan ini masih menjadi harapan, agar rantai masalah yang menghambat pemerintahan bersih bisa diputus dan bangsa ini mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. (Red)

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

Β 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini YaΒ 

×