SUDUT PANDANG, DIALOGMASA.com – “Stop arabisasi,” begitu ujar seorang teman bernama Hasan saat kami berdiskusi tentang budaya dan identitas. Ia menyitir pernyataan Gus Dur bahwa Islam datang bukan untuk mengubah saya menjadi ana dan kamu menjadi anta. Saya mengiyakan. Namun saya juga bertanya kepadanya, mengapa namanya Hasan? Bukankah itu nama Arab? Mengapa tidak memakai nama Jawa seperti Sukimin atau Sukijan?
Tidak ada yang salah dari pesan Gus Dur. Yang keliru adalah ketika pesan itu dipakai untuk mendukung sikap rasis atau merasa paling Jawa. Padahal Gus Dur jelas sosok pluralis dan menolak segala bentuk diskriminasi.
Sering kali, orang yang paling vokal meneriakkan “jaga budaya Jawa” justru tidak memahami akar budaya Jawa sendiri. Ini bukan soal Jawa versus Arab, tetapi soal proses alami pertukaran budaya yang terjadi melalui interaksi sosial selama berabad-abad.
Budaya Jawa Memang Bersifat Terbuka
Sejak dulu, budaya Jawa menyerap unsur dari berbagai kebudayaan: Hindu, Buddha, Arab, Melayu, Portugis, Belanda, hingga Inggris. Proses ini disebut sinkretisasi, bukan penjajahan budaya. Ia tumbuh melalui perjumpaan, bukan pemaksaan.
Contoh sederhana adalah nama-nama hari. Leluhur Jawa membagi waktu dalam dua siklus: Saptawara (7 hari) dan Pancawara (5 hari).
Nama asli hari dalam Saptawara adalah: Radite, Soma, Anggara, Buda, Respati, Sukra, Saniscara.
Namun sejak era Sultan Agung, nama-nama itu dipadukan dengan istilah Arab:
Radite → Ahad
Soma → Senin
Anggara → Selasa
Buda → Rabu
Respati → Kamis
Sukra → Jumat
Saniscara → Sabtu
Lalu di masa kolonial, kata Ahad bergeser menjadi Minggu, serapan dari bahasa Melayu, yang asalnya dari bahasa Portugis De Domingo, akar Latin Dies Dominicus (Hari Tuhan).
Sementara dalam Pancawara, kita mengenal: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, yang menjadi sistem pasaran tradisional.
Bahkan penyebutan sepekan berasal dari kata peken (pasar).
Kalender Jawa Pun Hasil Akulturasi
Sultan Agung juga memadukan kalender Saka (Hindu) dengan kalender Hijriyah, membentuk Penanggalan Jawa yang kita kenal hingga sekarang. Nama bulan-bulan Jawa pun banyak yang telah terlupakan.
Pengaruh Bahasa Arab dalam Kehidupan Sehari-hari
Jika ingin benar-benar menolak unsur Arab, maka kita harus mengganti banyak hal, termasuk kata-kata dalam Pancasila:
Adil (عدل)
Beradab (آداب)
Kerakyatan / Ro’iyah (رعيّة)
Hikmat (حكمة)
Musyawarah (مشاورة)
Perwakilan / Wakil (وكيل)
Artinya, bahasa dan kehidupan kita sudah sejak lama berinteraksi dengan kebudayaan lain, termasuk Arab.
Akhirnya
Tidak ada kebudayaan yang berdiri sendiri. Semua tumbuh melalui perjumpaan. Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku bukan untuk saling menolak, tetapi saling mengenal.
Menolak pengaruh budaya Arab dengan alasan melindungi budaya Jawa justru menunjukkan minimnya pemahaman sejarah budaya Jawa itu sendiri.
Penulis: Maulana Sholehodin

