PASURUAN, DIALOGMASA.com – Penurunan tarif Ekspor barang Indonesia ke Amerika Serikat dari 32 persen menjadi 19 persen pasca pertemuan Presiden RI Prabowo Subianto dengan Presiden AS Donald Trump disambut positif oleh berbagai pihak. Namun, akademisi mengingatkan agar Indonesia tidak lengah terhadap potensi risiko jangka panjang.
Saiful Bakhri, Dosen Ekonomi Syariah STAIS Pasuruan, dalam keterangannya kepada wartawan Dialog Masa pada Jumat (18/7/2025), menilai kebijakan ini memiliki sisi positif sekaligus konsekuensi tersembunyi yang perlu dicermati pemerintah.
“Penurunan tarif ini memang bisa memberikan dampak positif, khususnya dari dua sisi. Pertama, akan meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, terutama untuk sektor manufaktur dan agrikultur,” jelas Saiful.
Ia menambahkan bahwa dengan tarif yang lebih rendah, produk Indonesia akan lebih kompetitif dibandingkan produk dari negara lain yang belum mendapat perlakuan serupa.
“Kedua, dari sisi sentimen pasar, kebijakan ini memberi sinyal bahwa Amerika Serikat menganggap Indonesia sebagai mitra strategis penting di kawasan Asia Tenggara. Ini bisa memperkuat kepercayaan investor terhadap stabilitas dan prospek ekonomi Indonesia, apalagi di tengah transisi pemerintahan ke Presiden Prabowo,” lanjutnya.
Meski demikian, Saiful mengingatkan bahwa euforia jangan sampai membuat Indonesia kehilangan kewaspadaan terhadap risiko strategis jangka panjang.
“Kalau kita terlalu bergantung pada pasar AS, ini bisa menjadi bumerang. Amerika punya rekam jejak menarik dukungan sepihak, seperti saat mencabut GSP dari beberapa negara berkembang,” ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi penurunan tarif sebagai alat tekanan geopolitik.
“Bisa saja ini adalah langkah AS untuk menarik Indonesia lebih dekat ke orbit pengaruhnya dalam persaingannya dengan Tiongkok. Ini membuat posisi diplomatik kita rentan dan penuh kalkulasi,” kata Saiful.
Menurutnya, kebijakan seperti ini tidak selalu murni ekonomi. “Ada kemungkinan disertai syarat tidak tertulis, seperti penyesuaian orientasi politik luar negeri atau dukungan terhadap agenda regional tertentu, yang bisa bertentangan dengan kepentingan jangka panjang Indonesia.”
Ketika ditanya mengenai etika menjalin hubungan erat dengan negara seperti AS yang secara terbuka mendukung Israel, Saiful memberikan dua sudut pandang.
“Kalau dari sudut pandang realisme politik, hubungan internasional adalah soal kepentingan nasional, bukan sekadar nilai moral. Pemerintah pasti akan memprioritaskan ekonomi dan keamanan nasional. Amerika tetap mitra strategis penting di banyak sektor,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa Indonesia punya identitas politik luar negeri yang khas.
“Kita dikenal vokal dalam mendukung Palestina dan menentang penjajahan. Jika kedekatan kita dengan AS dilakukan tanpa kritik terbuka terhadap kebijakan luar negerinya, ini bisa mencederai konsistensi moral kita di mata dunia Islam,” katanya.
Saiful juga mengingatkan bahwa opini publik dalam negeri tak bisa diabaikan. “Kalau masyarakat melihat ini sebagai kompromi atas prinsip kemanusiaan dan keadilan internasional, bisa timbul resistensi dari kelompok sipil, keagamaan, maupun parlemen,” ujarnya.
Sebagai penutup, Saiful menegaskan bahwa langkah diplomatik Indonesia harus tetap berimbang.
“Penurunan tarif memang menguntungkan, tapi jangan sampai kita terjebak dalam ketergantungan atau aliansi yang melemahkan posisi non-blok kita. Prinsip konstitusi, terutama soal kemanusiaan dan keadilan global, tetap harus dijaga,” pungkasnya. (ID/WD)