SUDUT PANDANG, DIALOGMASA.com – Sebenarnya, saya sudah tidak tertarik dengan perdebatan nasab, sebab sudah keluar dari kaidah-kaidah ilmiah. Dalam kajian ilmu kesejarahan, yang penting itu ada tiga hal. Pertama, memperdebatkan metodologinya. Kedua, umur manuskrip. Dan terakhir, uji validitas isi manuskrip. Karena tiga hal inilah yang akan menentukan relatifitas kebenaran ilmiah.
Kini, perdebatan nasab ini sudah sampai pada titik adu kebencian, pamer caci maki, dan menyerang hal-hal personal. Itu artinya, para pihak sudah kehabisan argumentasi. Saya teringat dawuh Gus Dur: semakin luas ilmu seseorang, maka akan semakin luas pula hatinya menerima perbedaan.
Dalam tragedi pembongkaran makam di Winongan, sesungguhnya saya lebih sepakat jika persoalan ini ditarik ke perdebatan yuridistik-fiqhiah. Sebab, yang berkonflik adalah orang-orang yang dianggap tokoh, yang mengerti dan taat beragama. Namun, karena sudah diduga ada tindakan pidana dan berpotensi menimbulkan konflik fisik yang meluas, maka akan lebih baik jika perkara ini diseret ke ranah hukum atau KUHP, agar bisa menyudahi dan melokalisir konflik.
Dalam proses hukum ini, sudah tidak penting lagi siapa yang paling benar secara ilmiah soal nasab — apakah Kiai Imad atau Habib Taufiq. Persoalannya sudah bukan di situ lagi, tetapi: benarkah ada tindakan anarkis? Apakah ada peristiwa pidana? Siapa pelakunya? Apa buktinya? Melanggar pasal KUHP yang mana? Apakah unsur pidananya sudah terpenuhi? Dan berapa ancaman hukumannya?
Untuk itu, kedua belah pihak dipersilakan saling melapor bila ada hak konstitusional yang dilanggar. Bila ada unsur perdata, silakan lakukan gugatan ke pengadilan. Sesederhana itu.
Berkaitan dengan perdebatan nasab, Polres Pasuruan tidak berhak ikut campur, sebab itu ranah ilmiah. Tetapi dalam persoalan dugaan tindak pidana, Polres Pasuruan berkewajiban memproses dengan cepat dan benar apabila kedua belah pihak melapor.
Saya pribadi berada pada situasi yang sulit, sebab tokoh-tokoh di kedua belah pihak adalah sahabat-sahabat saya. Karena itu, harapan saya semoga masih ada ruang untuk islah dan rekonsiliasi.
Oleh : Maulana Sholahodin