PASURUAN (dialogmasa.com) – Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pasuruan tahun 2025 menemui jalan buntu. Hal ini terlihat saat rapat paripurna dengan agenda pengesahan yang seharusnya digelar Kamis (21/11/2024) siang ditunda.
Penundaan ini dilakukan karena pembahasan anggaran antara tim anggaran (Timgar) dan badan anggaran (Banggar) belum selesai. Oleh karena itu, pengesahan dan penandatanganan Raperda APBD 2025 terpaksa ditunda hingga pembahasan selesai.
“Ya, memang belum selesai pembahasannya. Semuanya sedang berproses. Ada beberapa hal yang perlu disinkronkan, sehingga dengan terpaksa paripurna pengesahan yang seharusnya disahkan hari ini ditunda sampai semuanya tuntas,” kata Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Samsul Hidayat.
Sementara itu, yang menjadi sorotan dewan dalam penyusunan konstruksi APBD 2025 adalah belanja pegawai yang dinilai ugal-ugalan. Dalam perhitungan, alokasi belanja pegawai mencapai 42,39 persen dari kemampuan APBD atau sekitar Rp1,6 triliun lebih.
Sedangkan untuk alokasi belanja wajib BPIP pada rancangan APBD tahun 2025 hanya sebesar 33,63 persen dari total kemampuan APBD, atau sekitar Rp1,3 triliun lebih. Untuk urusan pendidikan, anggaran yang direncanakan sebesar Rp1,1 triliun lebih atau sekitar 28,98 persen.
Sudiono Fauzan, anggota Banggar, menilai Timgar tidak memiliki sign of crisis dalam menyusun konstruksi APBD. Menurutnya, rancangan APBD yang disusun ini mengerikan karena alokasi belanja pegawai hampir menggerus separuh dari kekuatan APBD Kabupaten Pasuruan.
“Seharusnya, Pemkab Pasuruan tidak ugal-ugalan seperti ini. Apalagi, Presiden Prabowo sudah mewanti-wanti kepala daerah saat Rakornas Pemerintah Pusat dan Daerah di Sentul awal November kemarin untuk efisiensi anggaran,” kata Mas Dion, sapaan akrabnya.
Politisi PKB ini mengatakan bahwa dalam pidato presiden disebutkan dengan jelas bahwa kepala daerah harus bisa menghemat anggaran karena banyak laporan potensi negara hilang akibat pemerintahan yang tidak efisien dan tidak efektif.
“Bahkan, dalam acara itu presiden menyebut secara spesifik bahwa dinas perlu melakukan penghematan biaya perjalanan dinas dan mengurangi acara seremonial. Sehingga, penghematan anggaran itu bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat,” paparnya.
Namun, yang terjadi di Pasuruan justru sebaliknya. Konstruksi anggaran untuk belanja pegawai tembus angka 42,39 persen. Padahal, dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD disebutkan bahwa batas maksimal belanja pegawai adalah 30 persen dari APBD.
Dalam UU yang sama, juga disebutkan bahwa batas minimal belanja infrastruktur pelayanan publik adalah 40 persen dari APBD, di luar transfer ke daerah bawahan dan desa. Namun, belanja infrastruktur hanya sekitar 33,63 persen.
“Saya juga bingung, ini Timgar menyusun konstruksi anggaran pakai aturan yang mana. Yang jelas, jika menggunakan UU tersebut, ini jelas tidak sesuai dengan ketentuan. Untuk kepentingan publik justru lebih sedikit dibandingkan kepentingan pegawai,” ujarnya.
Ketua Fraksi Gabungan, Eko Suryono, menambahkan bahwa Pemkab seharusnya lebih fokus mengalokasikan kemampuan anggarannya untuk kepentingan masyarakat, bukan pegawai. Rancangan konstruksi anggaran ini dianggap tidak ideal dan timpang.
“Saya minta Timgar mengevaluasi kembali konstruksi anggaran ini. Kalau bisa, besaran anggaran belanja pegawai disesuaikan dengan UU yang ada. Jangan menghamburkan anggaran di luar aturan yang sudah ditetapkan pemerintah pusat,” tegasnya.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Rias Judikari Drastika, juga mengingatkan Timgar untuk segera merevisi rencana APBD tahun 2025. Menurutnya, rancangan itu kurang proporsional dan tidak memperhatikan kebutuhan Kabupaten Pasuruan secara makro.
“Bagaimana mau membangun Kabupaten Pasuruan kalau anggarannya saja tidak proporsional? Seharusnya, struktur atau kerangka anggaran itu idealis sehingga nantinya kemampuan anggaran ini bisa menyentuh kebutuhan masyarakat,” tegasnya.
Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Pasuruan, Andri Wahyudi, menambahkan bahwa kerangka anggaran yang disajikan sedikit menyimpang dari aturan dan ketentuan. Artinya, Timgar harus kembali ke jalur yang benar dalam penyusunan anggaran ini.
“Saya minta kerangka anggaran ini diperbaiki lebih dulu. Jangan sampai ada yang dikorbankan. Negara harus menjamin hajat hidup orang banyak, dan itu amanat konstitusi. Maka, dalam menentukan kebijakan anggaran, harus tepat sasaran,” jelasnya.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kabupaten Pasuruan, Digdo Sutjahyo, mengatakan bahwa tahapan penyusunan APBD 2025 belum final dan masih berproses. Dia menyebutkan, konstruksi anggaran ini belum final.
Artinya, masih ada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang belum dimasukkan dalam konstruksi anggaran. Dia memperkirakan masih ada sekitar Rp400 miliar dari DBHCHT yang belum masuk dalam konstruksi anggaran sekarang.
“Kami sedang konsultasi ke Jakarta karena perlu menyesuaikan dengan aturan baru untuk penggunaan DBHCHT. Kami perlu persetujuan dari Kemenkeu. Jika sudah, dana tersebut akan dimasukkan,” katanya.
Jika anggaran sekitar Rp400 miliar lebih itu dimasukkan, tentu akan mengubah konstruksi APBD 2025. Dengan tambahan DBHCHT ini, konstruksi anggaran diyakini akan lebih proporsional.
“Prinsipnya, kami akan tunduk dan patuh terhadap perintah undang-undang. Dalam penyusunan, kami berpedoman pada aturan yang berlaku agar pengalokasian anggaran ini bermanfaat bagi masyarakat Kabupaten Pasuruan,” tegasnya.
Direktur Pusat Studi dan Advokasi Kebijakan (PUSAKA), Lujeng Sudarto, mengingatkan bahwa Timgar dan Banggar harus tunduk terhadap peraturan perundang-undangan dalam menyusun konstruksi anggaran.
“Kalau Banggar mengkritik Timgar, Banggar juga harus mau dikritik. Saya minta kepentingan Timgar atau Banggar yang tidak berpihak pada kebutuhan rakyat, dikepras saja. Rasionalisasi anggaran itu penting untuk memenuhi kebutuhan rakyat,” tutupnya.
(Abi/Wj)