MALANG, DIALOGMASA.com —Palestine Solidarity Universitas Brawijaya menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) pada Selasa (10/12/2025) bertajuk “Konflik Israel–Palestina Pasca Pengakuan Internasional atas Kemerdekaan Palestina: Analisis Politik, Hukum, dan HAM.” Kegiatan ini berlangsung di Ruang Rapat Lantai 6 Gedung A Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan dihadiri oleh akademisi UB serta masyarakat umum, baik secara luring maupun daring.
FGD ini menghadirkan tiga narasumber lintas bidang yang memberikan perspektif komprehensif tentang dinamika terbaru kawasan Timur Tengah. Mereka adalah Prof. Dr. Setyo Widagdo, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum Internasional Universitas Brawijaya; Aloysius Selwas Taborat, S.H., LLM., Koordinator Fungsi Politik Hukum Internasional Kementerian Luar Negeri RI; serta Abdullah, S.Sos., M.Hub.Int., Dosen Hubungan Internasional FISIP UB.
Dalam paparannya berjudul “Masa Depan Palestina Pasca Pengakuan Kedaulatan,” Prof. Setyo Widagdo menegaskan bahwa pengakuan kedaulatan Palestina merupakan tonggak penting dalam hukum internasional, namun bukan akhir dari perjuangan.
“Pengakuan kedaulatan adalah kemajuan besar, tetapi tantangan justru semakin kompleks setelahnya,” jelasnya. Ia menambahkan, rekonstruksi politik dan keamanan Palestina masih membutuhkan dukungan berkelanjutan masyarakat internasional.
Aloysius Selwas Taborat, dalam materi bertajuk “Konflik Israel–Palestina Pasca Pengakuan Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Hukum Internasional Indonesia,” menyoroti bahwa pengakuan sebuah negara bukan sekadar tindakan politis, melainkan memiliki konsekuensi hukum yang signifikan. Menurutnya, penguatan posisi Palestina di kancah internasional memerlukan strategi diplomasi yang konsisten dan berjangka panjang.
Sementara itu, Abdullah, S.Sos., M.Hub.Int., memberikan analisis mengenai kondisi kemanusiaan dan politik Gaza. Ia menekankan bahwa meski pengakuan internasional menguat, Palestina masih menghadapi blokade, kerusakan infrastruktur, serta krisis kemanusiaan berkepanjangan.
“Situasi di lapangan tidak serta-merta stabil. Tantangan HAM masih sangat besar,” terangnya.
Sebagai organisasi kampus yang berfokus pada solidaritas dan literasi isu-isu Palestina, UB-Palestine Solidarity menghadirkan forum ini untuk memperluas pemahaman civitas akademika mengenai arah masa depan Palestina, khususnya dalam aspek politik, hukum, dan hak asasi manusia.
Diskusi ini juga menegaskan pentingnya solusi one state—yakni berdirinya negara demokratis Palestina yang menjamin kesetaraan, keadilan, dan perlindungan HAM bagi seluruh warganya—sebagai jalan damai yang paling menjanjikan dalam penyelesaian konflik panjang Israel–Palestina.

