ASN di Persimpangan Zaman: Antara Perekat Bangsa dan Beban Anggaran

Diary Warda
4 Min Read

ASN di Persimpangan Zaman: Antara Perekat Bangsa dan Beban Anggaran

Diary Warda
4 Min Read

ARTIKEL, DIALOGMASA.com — Di tengah derasnya arus modernisasi dan tuntutan pembangunan, keberadaan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia tengah berada di persimpangan. Di satu sisi, ASN dipandang sebagai pilar penting bagi stabilitas dan keutuhan negara—diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2023. Namun di sisi lain, kritik terhadap kinerja ASN yang dianggap lamban dan membebani anggaran negara terus bermunculan.

Analisis dari berbagai sudut pandang—baik hukum, akademik, maupun ekonomi—membuka dua sisi dari mesin birokrasi Indonesia ini.


Argumen Pro: Perekat Bangsa dan Penjaga Stabilitas

Mereka yang mendukung penguatan sistem ASN menyandarkan argumen pada tiga hal utama: stabilitas, persatuan, dan netralitas.

Pertama, stabilitas dan kontinuitas pemerintahan. Mengacu pada teori birokrasi modern Max Weber, keberadaan aparatur yang permanen dan profesional adalah fondasi negara yang kuat. Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia sekaligus mantan Wakil Menteri PAN-RB, Prof. Dr. Eko Prasojo, menyebut ASN sebagai “institutional memory”—penjaga kesinambungan kebijakan ketika pemimpin politik datang dan pergi.

Kedua, perekat dan pemersatu bangsa. Hal ini tertuang dalam Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2023, yang menegaskan peran ASN sebagai simbol kehadiran negara di seluruh pelosok Indonesia. Lembaga seperti BKN dan KemenPAN-RB menekankan bahwa penempatan ASN bukan hanya soal administrasi, tetapi juga menjaga keutuhan NKRI.

Ketiga, penjaga netralitas dan meritokrasi. Dibentuknya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) bertujuan menjaga sistem merit, memastikan rekrutmen dan promosi berdasarkan kompetensi, bukan politik. Ini menjadi sangat penting saat memasuki tahun-tahun politik seperti Pilkada.


Sisi Kontra: Beban Fiskal dan Kinerja Minim

Namun, tak sedikit pihak yang menyoroti sejumlah masalah mendasar dalam tubuh birokrasi.

Kritik paling umum adalah struktur birokrasi yang gemuk dan membebani APBN. Data Kementerian Keuangan dalam Nota Keuangan dan APBN menunjukkan besarnya alokasi belanja pegawai. Ekonom senior Faisal Basri dan lembaga seperti INDEF menilai bahwa anggaran ini berisiko menggerus belanja produktif seperti infrastruktur dan program pemberdayaan.

Masalah ini diperparah oleh budaya kerja “zona nyaman” di kalangan ASN. Ironisnya, Prof. Eko Prasojo juga menjadi salah satu tokoh yang paling vokal dalam mengkritik hal ini. Pemerintah pun telah mencoba merespons melalui kebijakan Tunjangan Kinerja (Tukin) dan evaluasi kinerja periodik.

Tak hanya itu, di era digital, ASN dinilai masih lamban beradaptasi. Konsep Agile Governance—yang menuntut birokrasi lebih gesit dan responsif—masih jauh dari harapan. Upaya seperti Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) memang mulai diterapkan, namun tantangannya adalah kecepatan implementasi yang belum merata.


Perdebatan Filosofis: Abdi Negara atau Profesional?

Persoalan ASN tak hanya teknis, tetapi juga menyentuh ranah filosofis: apakah ASN harus tetap berperan sebagai abdi negara yang loyal, atau bergeser menjadi pekerja profesional yang fokus pada kinerja dan akuntabilitas?

Pemerintah melalui UU ASN terbaru tampaknya mengambil jalan tengah dengan skema PNS dan PPPK. Penjelasan dari KemenPAN-RB menyebut bahwa PNS ditujukan untuk jabatan inti yang membutuhkan kontinuitas, sementara PPPK difokuskan pada jabatan teknis yang bisa diisi oleh tenaga profesional dari luar birokrasi.

Lantas, mengapa tidak semua warga negara dijadikan PNS demi kesejahteraan?

Menurut ekonom Chatib Basri dalam forum CNBC Economic Outlook 2023, peran negara bukan sebagai penyedia pekerjaan utama, tetapi sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi. Data dari BPS memperkuat hal ini—sektor swasta dan informal masih menjadi tulang punggung penyerap tenaga kerja nasional.


Menuju Birokrasi Masa Depan

Perdebatan ini bermuara pada satu kesimpulan: Indonesia tidak mungkin berjalan tanpa ASN. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana mentransformasi birokrasi ini menjadi lebih efisien, adaptif, dan berorientasi kinerja, tanpa kehilangan fungsinya sebagai perekat bangsa.

Implementasi penuh dari UU No. 20 Tahun 2023 akan menjadi ujian penting untuk masa depan wajah birokrasi Indonesia.

(Raya/Wj)

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×