ARTIKEL, DIALOGMASA.com — Semakin diterima dan diharapkannya penggunaan media sosial, semakin banyak orang mulai merasakan dampak negatifnya. Generasi milenial dan Gen Z merupakan pengguna terbanyak media sosial, akan tetapi siapapun pada dasarnya dapat kecanduan media sosial.
Memahami bagaimana kecanduan terhadap media sosial tersebut terjadi, akan membantu mengidentifikasi siapa yang lebih berisiko terhadap hal ini. Tingkat kecanduan media sosial terus meningkat sepanjang tahun.
Dilansir dari addictionhelp.com, sebanyak 56,8 persen populasi kini aktif di media sosial. Diperkirakan angka kecanduan medsos juga mengalami kenaikan di tahun-tahun mendatang. Penelitian dari Universitas Michigan memperkirakan 210 juta orang telah kecanduan media sosial.
Dampak Kecanduan Akan Media Sosial di Kalangan Anak Muda
Dampak kecanduan media sosial pada anak semakin memprihatinkan. Banyak profesional di bidang kesehatan mental anak dan remaja mengkhawatirkan hal ini.
Kekhawatiran ini disebabkan oleh cara media sosial mendorong pengguliran tanpa henti, sehingga menimbulkan perilaku impulsif. Bagi anak-anak yang otaknya masih berkembang, media sosial dikhawatirkan dapat mengubah otak mereka, sehingga menimbulkan perilaku adiktif.
Menurut penelitian Common Sense, remaja bisa menghabiskan waktu rata-rata 7 jam layar per hari. Sedangkan untuk anak-anak berusia 8 hingga 12 tahun menghabiskan waktu 4 jam per hari.
Melansir dari situs resmi Komdigi, data UNICEF menunjukkan setengah detik anak di dunia mengakses internet untuk pertama kalinya. Sebanyak 9,17 persen dari total 221 juta orang yang mengakses internet adalah anak berusia di bawah 12 tahun.
Sudahkah Pemerintah Melindungi Anak di Ruang Digital?
Presiden Prabowo Subianto mengarahkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta instansi terkait untuk menyusun regulasi pembatasan usia penggunaan media sosial.
Kebijakan ini ditujukan guna melindungi kepentingan anak sekaligus memastikan masa depan mereka tetap aman di era digital.
Aturan tersebut diharapkan mampu melindungi anak di ruang digital tanpa menghilangkan hak mereka untuk berekspresi maupun mengakses informasi sesuai usia.
Saat ini, terdapat tiga regulasi utama yang sedang digodok pemerintah. Pertama, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (TKPAPSE) yang dipimpin oleh Komdigi.
Kedua, Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) mengenai Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Digital (PARD) oleh Kementerian PPPA. Ketiga, revisi Perpres No. 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi yang dikoordinasikan Kemenko PMK bersama Kementerian Agama.
Menteri Komdigi Meutya Hafid menegaskan bahwa regulasi baru akan segera diumumkan. Ia menekankan komitmen pemerintah agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar bagi platform digital global.
Untuk itu, sejumlah pertemuan dengan perusahaan besar seperti Google dan TikTok Indonesia telah dilakukan demi memastikan keterlibatan mereka dalam menciptakan ruang digital yang lebih aman bagi anak-anak.
Selain itu, mulai Februari 2025 Komdigi meluncurkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN). Sistem ini berfungsi mengawasi serta menegakkan aturan bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) privat, khususnya yang menyediakan konten buatan pengguna (PSE UGC).
Tujuannya menjaga ruang digital tetap sehat, aman, dan ramah bagi anak. PSE yang terbukti melanggar aturan SAMAN dapat dikenakan sanksi berupa peringatan, denda, hingga pemblokiran akses. Melalui langkah ini, pemerintah berharap tercipta ekosistem digital yang lebih terlindungi bagi generasi muda. (DH/WD)