PODCAST, DIALOGMASA.com – Rendahnya minat baca di Indonesia kembali menjadi sorotan dalam sebuah diskusi literasi. Ulfa, narasumber dalam perbincangan tersebut, menggarisbawahi data internasional yang menempatkan Indonesia pada posisi hampir terbawah.
“Kalau kemarin saya pernah baca-baca juga, di Indonesia itu memang dari 61 negara, Indonesia itu peringkat ke-60 dari bawah lho. Nomor dua dong dari bawah. Itu pernah dengar seperti itu sih,” ungkap Ulfa.
Ia mengakui fakta tersebut terasa nyata di kalangan mahasiswa, termasuk di kampusnya. Namun, Ulfa menemukan pengecualian pada lingkungan pesantren.
“Kalau untuk mahasiswa di UNU sendiri, minat bacanya memang rendah. Benar, riset itu sama faktanya sesuai. Cuman kalau dilihat dari anak pondok… untuk membaca itu malah banyak yang lebih suka membaca anak pondok,” jelasnya.
Menurut Ulfa, pergeseran ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang mendorong masyarakat untuk lebih menyukai hal-hal instan.
“Minat baca dulu lebih tinggi daripada sekarang, dan itu disebabkan oleh perkembangan teknologi. Karena kebanyakan sekarang itu kan manusia lebih suka ke yang instan-instan. Sedangkan kalau baca buku kan harus kita memahami artinya. Kalau di media sosial, internet itu kan sudah instan. Kita lihat, ngetik apa, langsung ada,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, host diskusi menekankan bahwa teknologi seharusnya justru menjadi alat untuk meningkatkan literasi.
“Jadi istilahnya dengan dukungan kecanggihan hari ini, mestinya lebih dimaksimalkan ya baca ya. Ya juga kita mengetahui, oh bacanya dari sini, mungkin ada referensi-referensi lain, kita juga bisa cari di internet dan sebagainya,” katanya.
Solusi Praktis: Trik Membaca dan Menemukan Minat
Diskusi kemudian bergeser pada solusi untuk meningkatkan minat baca. Host mengutip pepatah yang populer di kalangan pesantren:
“Ada kata-kata gini: qoyidul ulum bil kitabah. Ikatlah ilmu dengan mencatat. Jadi kalau alasannya mencatat itu ada beberapa aktivitas dalam satu waktu. Dia membaca, dia juga menulis… otaknya, matanya, mulutnya jadi bekerja. Itu lebih maksimal, lebih lengket ilmunya.”
Ulfa menambahkan tips lain agar aktivitas membaca lebih efektif.
“Kalau misalnya baca itu jangan dibatin. Kan banyak tuh biasanya kalau di perpustakaan, dibaca di dalam hati. Itu malahan kadang bikin ngantuk ataupun tidak masuk ke dalam otak. Jadi… kalau bisa itu kalau baca itu diucapkan. Jadi otak itu dapat dua informasi dari mata juga dari telinga, dari ucapan kita,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya menyesuaikan bacaan dengan minat pribadi.
“Kita biar dia pengin membaca, kita nanyain dulu aja, ‘kamu tuh minatnya di bidang apa?’ Nah, mungkin kita bisa kasih referensi ke dia buku ini, buku ini… itu kan cocok, jadi bacanya nyambung dengan kemauannya dia.”
Peran Pendidikan di Rumah dan Makna Literasi
Dalam kesempatan yang sama, Ulfa mengingatkan bahwa pendidikan literasi tidak bisa hanya mengandalkan sekolah.
“Pendidikan itu bukan hanya ada di jenjang sekolah saja, tapi pendidikan itu juga ada di rumah, di masyarakat sekitar. Tapi kita lihat sekarang di Indonesia, pendidikan jenjangnya hanya di sekolah saja… Seharusnya itu pendidikan pertama dan utama itu adalah di rumah,” tegasnya.
Ia juga membandingkan praktik pendidikan di luar negeri.
“Di luar, kayak di Amerika, terus di Hollandia dan sebagainya, orang-orang tua itu sudah mengajarkan anaknya membaca dari kandungan. Strateginya orang luar seperti itu, membacakan cerita-cerita ketika dia dalam kandungan,” ujarnya.
Sebagai penutup, host memperluas pemahaman tentang membaca dengan istilah literasi, termasuk dalam perspektif agama.
“Tentang membaca itu sebenarnya sharing, itu ada kosakatanya itu begini: literasi. Jadi literasi itu kan lebih luas dari membaca… Kalau saya baca di dalam literasi agama, pertama kali yang diterima oleh Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, wahyu yang pertama kali diterima adalah iqra. Bacalah. Kita diperintahkan untuk membaca karena ketika kita membaca, kita akan terbuka wawasannya, pikirannya, dan mengetahui sesuatu yang belum kita tahu, sehingga kemudahan hidup bisa dicapai.” (Red)