FEATURE, DIALOGMASA.com – Mentari mulai meninggi, namun suasana di depan gerbang sekolah di Pasuruan masih terasa senyap. Bagi Didit, senyapnya suara riang anak-anak itu kini menjelma menjadi beban yang lebih berat dari sekadar sepi pembeli. Di balik gerobak dagangannya yang sederhana, ia menyimpan cerita getir tentang perjuangan para pedagang kecil untuk sekadar bertahan hidup: terjerat lilitan utang berbunga tinggi.
Bukan karena gaya hidup, melainkan demi menghidupi modal harian, Didit harus memutar otak mencari jalan keluar ketika pemasukan dari menjual jajanan tak lagi mencukupi. Jalan yang ia tempuh—pinjaman dari lembaga keuangan—ternyata bukan penyelamat, melainkan jebakan yang perlahan mencekiknya.
Lingkaran Setan Bernama “Bunga”
Kepada kami, Didit menghela napas panjang saat menceritakan bagaimana ia pernah sampai pada titik di mana utang harus dilunasi dengan utang baru.
“Pernah, Mas. Sampai hutang ke bank lainnya buat nutupin hutang bank yang pertama itu,” tuturnya dengan nada pasrah.
Inilah puncak dari konflik batin yang ia hadapi. Di satu sisi, ada kewajiban bulanan yang tak bisa ditawar; di sisi lain, kenyataan pahit sepinya penjualan terus menghantam. Langkah “gali lubang, tutup lubang” itu terpaksa ia ambil, didorong ketakutan akan denda dan bunga yang terus bertambah.
Setiap kali jarinya meneken surat pinjaman, sebersit kecemasan selalu membayangi. Kekhawatiran tidak mampu melunasi selalu muncul, terutama ketika ia mengingat pengalaman pahitnya: meminjam uang Rp5 juta, namun harus mengembalikannya hingga Rp7,5 juta. Beban bunga yang menumpuk itu bukan sekadar angka di kertas, melainkan rasa tertekan yang ia bawa pulang setiap malam. Cicilan seolah menjadi tali yang kian hari kian mengencang.
“Sampai aku ambilin lagi, takut nambah terus bunganya,” katanya, menjelaskan keputusannya untuk mengambil pinjaman baru demi menambal cicilan sebelumnya, yang ironisnya, hanya membuat total utangnya semakin menggunung.
Cerita Didit bukan kasus tunggal. Ia tahu betul, beban mengatur keuangan akibat bunga pinjaman yang “mencekik” juga dirasakan oleh beberapa rekan pedagang lain di sekitar sekolah, terutama saat penjualan sedang lesu. Mereka semua berada di kapal yang sama, berjuang melawan arus ekonomi yang tak bersahabat.
Kini, harapan terbesar Didit tak muluk-muluk: bantuan tambahan modal dengan bunga rendah, atau jika mungkin, tanpa bunga sama sekali. Ia hanya ingin bisa bernapas lega. Ia ingin perjuangannya berjualan, bangun pagi, dan menyiapkan dagangan, benar-benar membuahkan hasil, bukan malah menjeratnya dalam beban utang yang tak berkesudahan.
Bagi Didit dan pedagang-pedagang kecil sepertinya, bantuan itu bukan sekadar suntikan dana, melainkan sebuah uluran tangan yang bisa menjaga api dapur mereka tetap menyala, tanpa harus dibayangi mimpi buruk lilitan bunga pinjaman. (FZ/WD)