SUDUT PANDANG, DIALOGMASA.com – “Negara dijalankan dengan politik simulasi kekuasaan.” Pernyataan tegas ini datang dari Lujeng Sudarto, Ketua LSM Pus@ka, dalam sebuah diskusi bersama Dialog Masa. Menurutnya, elite politik di Indonesia cenderung sibuk mempertahankan atau membagi kekuasaan (power sharing) daripada melahirkan gagasan substantif untuk rakyat.
Simulasi kekuasaan yang dimaksud adalah praktik menipu publik dengan memoles citra, sementara substansinya lemah. “Bahaya terbesar dari penguasa adalah menipu rakyat dengan memalsukan diri sendiri,” tegas Lujeng. Ia mengutip pemikiran Umberto Eco dalam On Signs yang menyatakan: “Kecenderungan elit untuk mempertahankan kekuasaan dengan melakukan simulasi kekuasaan, menipu rakyat dengan memalsukan diri sendiri,”
Pasuruan dan Tata Ruang Tanpa Pidana
Kritik Lujeng mengemuka saat membahas kebijakan tata ruang di Kabupaten Pasuruan. Ia menyoroti absennya sanksi pidana dalam Perda Tata Ruang, padahal daerah ini memiliki tambang dan perusahaan terbanyak di Jawa Timur—dua sektor dengan potensi kerusakan lingkungan terbesar.
“Bandingkan dengan Sidoarjo. Di sana, pelanggar Perda Tata Ruang bisa dijerat pidana. Pertanyaannya, kenapa Pasuruan justru mengamputasi kekuasaannya sendiri dengan menghapus poin pidana?” kata Lujeng.
Padahal, Undang-Undang Tata Ruang secara tegas memuat ancaman pidana hingga 15 tahun. Menurut Lujeng, seharusnya semangat “konstitusi hijau” diwujudkan dalam peraturan daerah, bukan malah dilemahkan. Hal itu juga ditegaskan menyinggung diskusi sebelumnya dengan partai hijau di Pasuruan (PKB).
Optimisme dan Pesimisme
Dalam melihat kondisi nasional, Lujeng mengaku berada di posisi fifty-fifty. Ia mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang melakukan perombakan kabinet dan reformasi Polri. “Itu menjadi angin segar yang bisa menumbuhkan optimisme terhadap masa depan Indonesia,” ujarnya.
Namun, separuh dirinya juga pesimis. Sebab, gerakan pemerintah kerap terasa sekadar gimik dan pencitraan. “Yang terjadi hanyalah surplus citra, minus esensi. Rakyat tidak butuh pencitraan, rakyat butuh esensi yang menciptakan perubahan nyata, baik jangka pendek maupun panjang,” tutur Lujeng.
Pertanyaan yang Menggantung
Di titik inilah pertanyaan besar muncul: jika negara dijalankan dengan politik simulasi kekuasaan, haruskah masyarakat tetap optimis?
Rakyat Pasuruan dan Indonesia secara umum tentu menginginkan kepastian hukum, perlindungan lingkungan, serta kebijakan publik yang berpihak pada kebutuhan nyata, bukan sekadar kosmetik politik. Tanpa esensi, optimisme mudah berubah menjadi kekecewaan.
Namun, menyerah pada pesimisme juga bukan pilihan. Justru di tengah politik simulasi, tekanan masyarakat sipil menjadi kunci agar pemerintah tidak berhenti pada citra. Harapan tetap bisa tumbuh jika kritik terus disuarakan dan kebijakan substantif diperjuangkan.
Direktur Pus@ka : Lujeng Sudarto