PASURUAN, DIALOGMASA.com – Pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada dua tokoh politik nasional, Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, memicu sorotan publik. Keputusan ini dinilai sah menurut konstitusi, namun tetap menimbulkan pertanyaan tentang independensi hukum dan potensi transaksi politik dalam penyelesaiannya.
Pada 30 Juli 2025, Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta dalam kasus suap terkait pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR. Hasto diduga terlibat dalam upaya meloloskan Harun Masiku sebagai anggota legislatif melalui suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Keputusan tersebut disetujui oleh DPR RI pada 31 Juli 2025, dan Hasto resmi dibebaskan dari Rutan K4 KPK pada 1 Agustus 2025.
Sementara itu, Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menerima abolisi dari Presiden pada 1 Agustus 2025. Ia sebelumnya dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015–2016. Tom Lembong dibebaskan dari Rutan Kelas I Cipinang pada pukul 22.02 WIB di hari yang sama.
Landasan Hukum dan Definisi Amnesti–Abolisi
Secara konstitusional, pemberian amnesti dan abolisi dilakukan oleh presiden dengan mempertimbangkan pendapat DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.
Meski tidak didefinisikan secara eksplisit dalam UU Drt Nomor 11 Tahun 1954, dua istilah ini dijelaskan dalam Kamus Hukum karya Marwan dan Jimmy:
Amnesti adalah pernyataan umum untuk mencabut akibat pidana terhadap suatu perbuatan atau kelompok tindak pidana tertentu, sehingga seluruh akibat hukum pidananya dihapuskan.
Abolisi adalah penghapusan akibat penjatuhan putusan atau penghentian tuntutan pidana, bahkan jika putusan telah dijalankan.
Kritik Aktivis: Wewenang Eksekutif yang Perlu Ditinjau
Lujeng Sudarto, pengamat politik dan Direktur Pus@ka, mengemukakan bahwa pemberian amnesti dan abolisi oleh presiden patut dikaji ulang secara konstitusional.
“Hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 mestinya diamandemen, karena secara substansial bertentangan dengan prinsip trias politica (separation of power),” ujarnya dalam sesi wawancara bersama dialogmasa, Minggu (3/8).
Menurut Lujeng, grasi, rehabilitasi, abolisi, dan amnesti seharusnya menjadi domain kekuasaan yudikatif, bukan eksekutif.
Ia juga menilai bahwa langkah lebih bijak bagi kedua tokoh tersebut adalah menolak amnesti maupun abolisi, jika mereka yakin tidak bersalah.
“Jika Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto yakin bahwa mereka benar dan tidak bersalah, mestinya lebih bermartabat abolisi dan amnesti tersebut ditolak. Dilanjutkan saja proses hukumnya, untuk membuktikan bahwa mereka memang tidak bersalah,” tegasnya.
Pertanyaan Etis dan Potensi Transaksi Politik
Lujeng turut mengingatkan tentang potensi munculnya transaksi politik dalam pemberian abolisi dan amnesti ini.
“Dalam arena politik berlaku adagium ‘tidak ada makan siang gratis’. Apakah pemberian abolisi dan amnesti tersebut tidak ada kompensasi politik?” ungkapnya.
Ia menambahkan, kasus ini justru mengusik pertanyaan filosofis yang lebih mendalam tentang hubungan antara hukum dan politik.
“Apakah hukum dipakai untuk menyelesaikan sengketa politik sesama elite, ataukah politik dipakai untuk menyelesaikan sengketa hukum sesama elite?” pungkasnya. (AL/WD)