Mengurai Makna Rewang dalam Budaya Jawa dan Tantangannya di Era Modern

Diary Warda
5 Min Read

Mengurai Makna Rewang dalam Budaya Jawa dan Tantangannya di Era Modern

Diary Warda
5 Min Read

ARTIKEL, DIALOGMASA.com — Budaya Jawa menyimpan beragam tradisi yang penuh nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah rewang. Dalam bahasa Jawa, kata “rewang” berarti membantu secara sukarela dalam kegiatan sosial, terutama ketika ada hajatan atau perayaan.

Dilansir dari Jurnal Sosial dan Budaya vol 13 no 1 tahun 2024, tradisi ini tidak hanya berkaitan dengan kerja sama fisik, tetapi juga melambangkan kebersamaan, ketulusan, serta semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa.

Kegiatan rewang biasanya terlihat dalam acara pernikahan, khitanan, syukuran, pengajian, hingga berbagai kegiatan adat lainnya. Pada momen tersebut, keluarga, kerabat, dan tetangga berkumpul untuk membantu tuan rumah mempersiapkan segala kebutuhan acara.

Hal yang membedakan tradisi ini adalah bantuan yang diberikan tanpa pamrih. Para warga yang terlibat melakukannya dengan sukarela dan penuh keikhlasan, tanpa mengharapkan imbalan materi.

Nilai yang terkandung dalam rewang erat kaitannya dengan konsep “guyub rukun”, yaitu hidup berdampingan secara harmonis dan saling menolong. Tradisi ini menjadi perekat sosial yang memperkuat solidaritas dan menjalin persaudaraan antar warga.

Walaupun arus modernisasi terus berkembang, makna rewang tetap memiliki posisi penting dalam kehidupan masyarakat Jawa sebagai bentuk nyata kepedulian serta kebersamaan.

Makna Filosofis dalam Tradisi Rewang

Filosofi utama rewang adalah kebersamaan dan ketulusan. Masyarakat datang membantu dengan menyisihkan waktu maupun tenaga demi kelancaran acara, tanpa berharap balasan.

Sikap ikhlas menjadi landasan kegiatan ini, mencerminkan keyakinan bahwa kebersamaan merupakan kekuatan untuk menghadapi kehidupan sehari-hari. Nilai tersebut mengajarkan pentingnya memberi bantuan tanpa pamrih, sehingga lahir rasa saling percaya dan hubungan sosial yang erat.

Rewang juga mencerminkan prinsip guyub rukun, yakni kebiasaan hidup berdampingan secara harmonis dengan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Dalam praktiknya, setiap warga memiliki peran masing-masing, mulai dari mempersiapkan bahan makanan, mendirikan tenda, mengatur tempat duduk, hingga melayani tamu. Semua tugas dilakukan secara sadar dan tulus, membentuk suasana kekeluargaan yang hangat.

Selain membantu tuan rumah, suasana rewang menjadi ajang interaksi sosial. Masyarakat dapat saling mengenal lebih dekat, bertukar cerita, dan berdiskusi mengenai kehidupan sehari-hari.

Proses ini memperkuat solidaritas sosial serta menjaga keharmonisan hubungan antar sesama. Dengan demikian, rewang bukan sekadar kegiatan gotong royong, melainkan juga sarana mempererat ikatan sosial yang menjadi bagian penting dari budaya Jawa.

Kelemahan dalam Tradisi Rewang

Tradisi rewang sebagai bentuk gotong royong dalam membantu tetangga atau kerabat yang mengadakan hajatan memiliki sejumlah kelemahan, antara lain:

  1. Beban Kerja Tak Merata

Dalam praktiknya, ada kalanya pembagian tugas kurang adil sehingga sebagian orang mendapatkan pekerjaan lebih berat, sementara yang lain hanya mengerjakan hal ringan. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa kurang puas bagi peserta yang merasa terbebani.

  1. Kurangnya Koordinasi

Komunikasi yang tidak berjalan baik dapat menyebabkan kebingungan, misalnya ada pekerjaan yang dikerjakan ganda atau bahkan terlewat karena tidak ada penanggung jawab. Situasi tersebut membuat proses persiapan acara menjadi kurang efektif.

  1. Eksploitasi Tenaga Kerja

Tuan rumah bisa saja memanfaatkan tenaga peserta tanpa memberikan kompensasi sepadan atau menuntut mereka bekerja lebih lama dari semestinya.

  1. Ketidakcocokan Waktu Kerja

Tidak semua orang memiliki waktu luang untuk hadir, sementara pelaksanaan rewang terkadang berbenturan dengan pekerjaan atau urusan keluarga peserta. Bagi sebagian orang, rewang juga dianggap sebagai gangguan privasi karena banyaknya orang yang datang ke rumah dapat menimbulkan rasa tidak nyaman.

  1. Tak Sesuai dengan Budaya Lain

Selain itu, tradisi ini mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan budaya daerah lain. Ada masyarakat yang menganggap rewang sebagai beban. Bahkan, terkadang muncul rasa iri apabila satu keluarga lebih sering mengadakan hajatan dibandingkan tetangga lainnya.

Apakah Rewang Masih Ada di di Era Modern?

Di masa kini, tradisi rewang masih dijumpai di sejumlah daerah Jawa meskipun mengalami perubahan. Jika dahulu kegiatan ini didominasi wanita, kini pria juga turut serta. Pembagian tugas lebih terstruktur dan penggunaan teknologi, seperti peralatan masak modern serta media sosial, turut mendukung kelancaran persiapan acara.

Sebagai warisan budaya, rewang tetap dipandang berharga karena menjaga nilai gotong royong, solidaritas, dan rasa syukur dalam masyarakat. (DH/WD)

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×