Oleh: Lujeng Sudarto
ARTIKEL (dialogmasa.com) Bagi saya, keyakinan, mazhab, ideologi, atau pemikiran apapun tidak bisa diadili oleh negara karena itu adalah hak setiap individu. Negara hanya boleh menindak dan mengadili tindakan yang telah manifes menjadi perbuatan kriminal dan mengganggu ketertiban umum.
Jangan sampai atas nama persatuan, kita menjadi fasis dan malah anti-demokrasi dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan keyakinan dan ideologi. Kita tidak bisa, atas nama persatuan, lalu menghapus perbedaan.
Menurut saya, justru karena ada fakta perbedaan, kita membutuhkan persatuan. Saya kadang juga berpikir seperti spekulasi Anda: “ataukah pemberitaan itu justru bagian dari pemerintah untuk *mengalihkan perhatian,” yang artinya kecenderungan pemerintah mereproduksi isu-isu sentimen agama dll, karena ada kebobrokan yang sedang ditutup-tutupi.
Sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa fakta atas pergerakan-pergerakan yang menginginkan perubahan atas NKRI itu ada.
Adanya tuduhan, stigma, dan labelisasi terhadap kelompok-kelompok yang dituduh sebagai radikal dan fundamental itu pun ada pada zaman kolonial Belanda.
Belanda juga menuduh gerakan Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol sebagai gerakan fundamental untuk mendirikan bentuk negara atau pemerintahan berdasarkan azas Islam.
Kalaupun sekarang narasinya ditengarai bahwa gerakan klandestin mereka sudah menginfiltrasi ke tempat-tempat pendidikan dan institusi pemerintah dianggap menyebarkan ajaran radikal, apakah mereka tidak boleh membela diri sebagai sebuah syiar atau dakwah Islam? Apakah hanya “kelompok kita” yang boleh melakukan dakwah agama yang sesuai dengan mazhab, keyakinan, atau ideologi kita?
Closing Statement:
Musuh kita bukan keyakinan yang berbeda, suku, atau ras yang berbeda, tetapi ketidakadilan, penindasan, dan perilaku koruptif, siapapun pelakunya, apapun latar belakangnya.
Wallahu’alam bishawab.