SEJARAH, DIALOGMASA.com – Masa Bersiap merupakan salah satu periode dalam sejarah Indonesia yang jarang disebut-sebut saat membicarakan Perang Kemerdekaan. Antara tahun 1945 hingga 147 di tengah kekacauan yang melanda Indonesia terjadi perampokan, pembakaran, dan pembunuhan yang menyasar golongan Eropa, Indo, dan Tionghoa. Periode Masa Bersiap juga terjadi di Malang.
Belanda melancarkan Agresi Militer 1 pada 21 Juli 1947 dengan memasuki Malang. Sementara para pejuang melakukan bumi hangus terhadap bangunan-bangunan penting dengan tujuan agar tidak dimanfaatkan serdadu Belanda. Kemudia mereka menyingkir ke luar kota. Keadaan Malang yang kosong tanpa penjagaan membuat keamanan kota dipegang militer Belanda.
Meskipun para pejuang telah menyingkir, di dalam kota sendiri masih menyisakan kelompok paramiliter atau laskar rakyak. Kelompok inilah yang kemudian melakukan penjarahan dan penangkapan terhadap orang-orang Tionghoa. Alasannya, golongan ini dianggap sebagai mata-mata Belanda.
Kwee Tjiam Tjing alias Tjamboek Berdoeri, seorang jurnalis Tionghoa, dalam memoarnya yang menggunakan ejaan lama menggambarkan bagaimana mencekamnya suasana kota saat itu. Ia juga secara detail mengisahkan apa nasib tragis orang-orang Tionghoa yang diciduk kelompok paramiliter ini pada 31 Juli 1947.
“….Sesampainja di tikungan djalan Kebalen, Pertukangan dan djalan Kelenteng di depan satu rumah di sebelah kelenteng saja lihat ada menggeletak sesosok tubuh, seorang lelaki bangsa Indonesia. Saja samperin si korban peluru dan kaokin penghuni dari rumah itu, seorang Tionghoa. Padanja saja tanja apa ia tahu didepan rumahnja ada majat manusia…..”
Kwee Tjiam Tjing sendiri sempat berkeliling memakai sepeda melewati Celaket, Kayutangan, dan Kotalama untuk mengetahui kondisi familinya. Sesampainya di rumahnya, ia diberitahu tukang kebunnya bahwa anggota keluarganya sudah dibawa kelompok paramiiter ke Rumah Sakit Tiong Hoa Ie Sia (RS Panti Nirmala).
Bermaksud mengambil kembali anggota keluarganya yang diamankan kelompok tersebut, Kwee Tjiam Tjing lalu pergi ke Kebalen Wetan. Ia berhasil menyelamatkan anggota keluarganya sementara orang-orang Tionghoa lainnya dibawa ke Mergosono kemudian dibunuh kelompok paramiliter yang dipimpin Pramoe. Kwee Tjiam Tjing sendiri mengenal Pramoe karena pernah sama-sama menjadi anggota stadwacht (pasukan penjaga kota) Malang.
Ada sekitar 21 orang Tionghoa yang menjadi keganasan kelompok Pramoe. Mereka semua dibunuh lalu ditumpuk menjadi satu kemudian dibakar. Untuk mengingat peristiwa pembantaian atau lebih dikenal dengan Tragedi Mergosono ini, masyarakat Tionghoa mendirikan sebuah tanda peringatan di atas kuburan bersama para korban pembantaian di Mergosono. (DS)
Referensi
Kwee Tjiam Tjing, (2010), Menjadi Tjamboek Berdoeri: Memoar Kwee Thiam Tjing, Jakarta: Komunitas Bambu.
Ravando, (2019), Puji Widhi Bhakti Pertiwi: 90 Tahun Rumah Sakit Panti Nirmala, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.