Bedah Novel “Rasina”, Mengetahui Proses Kreativitas Penulisan dan Sejarah Kelam Indonesia

Diary Warda
4 Min Read

Bedah Novel “Rasina”, Mengetahui Proses Kreativitas Penulisan dan Sejarah Kelam Indonesia

Diary Warda
4 Min Read

MALANG (dialogmasa.com) – Bedah buku dan diskusi publik ‘Perempuan, Buruh & Luka kolonial’ di Pustaka Kafe, Klojen, Kota Malang yang diselenggarakan Pelangi Sastra, Himpunan Mahasiswa Departemen Sejarah Universitas Malang (UM), dan NeoDialogika, Pada Rabu (23/4).

Acara yang dihadiri sekitar 50 peserta ini dimulai sekitar pukul 19.00 WIB. Kegiatan diawali dengan pemutaran teaser Novel Rasina karya Iksaka Banu. Dalam pemaparannya, Iksaka Banu mengungkapkan, latar belakang ia menulis novel ini untuk memberi tempat kepada orang-orang marginal termasuk kaum budak dalam sejarah yang sering dilupakan.

“Kalau kita lihat di medsos, Belanda itu jahat sementara orang Indonesia yang dijajah dianggap suci, tidak bersalah. Padahal ada orang Belanda baik ada juga yang jahat begitu pula orang Indonesia,” ujarnya mengemukakan alasan mengapa ia sering mengangkat tokoh orang Belanda dalam karya-karyanya termasuk dalam Rasina.

Sebelum menulis cerpen Kalabaka yang menjadi cikal bakal Rasina, Iksaka Banu mengaku mengadakan angket terlebih dahulu untuk mengetahui pengetahuan orang akan peristiwa pembantaian orang-orang Banda.

Sementara itu, Yuventia Frisca (Dosen Ilkom UM) yang juga menjadi narasumber, memuji Iksaka Banu karena telah memberikan pencerahan melalui karya-karya tulisnya yang berlatar sejarah. Ia mengaku tema-tema sejarah yang diangkat alumnus ITB ini tidak diajarkan di sekolah.

“Orang selalu mengacu pada Simone de Beauvoir jika berbicara mengenai perempuan dan kekerasan. Perempuan adalah korban budaya dari patriarki berdasarkan pemikiran Simone de Bouvair,” ucap Yuventia Friska terkait tokoh Rasina.

Selanjutnya, Iksaka Banu menjelaskan kepada hadirin mengenai proses pengumpulan data-data sejarah yang ia gunakan dalam Novel Rasina. Ia mengaku selalu mengumpulkan data sebagai riset lalu menyatukannya dalam bentuk buku yang ia sebut sebagai ‘bible’.

Sementara itu di sesi kedua yang menghadirkan Guru Besar Sastra UM, Djoko Saryono menyoroti mengenai genre sejarah dalam kesusastraan Indonesia yang mengambil tema kolonialisme. Menurutnya, banyak penulis sejarah seperti Slamet Danusudirdjo yang juga mengambil tema ini.

“Sastra tidak menampilkan apa yg hadir di masyarakat, tetapi menampilkan apa yang tidak hadir di masyarakat,” ujarnya.

Ia lalu memberi contoh tentang tokoh Kartosuwiryo yang selalu ini dianggap sebagai pemberontak. Padahal Kartosuwiryo adalah korban dari kebijakan yang dulu diterapkan.

“E.S. Ito melalui Rahasia Meede itu contoh karya sastra sejarah sebelum iksaka Banu yang menurut saya sangat bagus,” kata Djoko Daryono saat berbicara sastra sejarah pasca Reformasi.

Senada dengan Yuventia Friska, ia juga memuji riset yang dilakukan Iksaka Banu untuk kepentingan novelnya. Baginya, Rasina adalah novel yang membongkar borok perbudakan yang berusaha ditutupi sejarah.

Namun demikian, Djoko Saryono juga menyoroti mengenai ketiadaan tokoh buruh perempuan dalam perkebunan semasa kolonial yang menjadi pemantik kemerdekaan dalam karya-karya Iksaka Banu.

Selanjutnya, FX Domini BB Hera (Ketua HMD Sejarah UM 2009) yang menjadi narasumber mengungkapkan bahwa sejarah Indonesia selalu menampilkan hal-hal santun sehingga ia merekomendasikan buku-buku Iksaka Banu untuk mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah yang tak tertulis dalam buku yang diajarkan di sekolah. Terkait dengan tema, ia juga mengungkapkan perbudakan perempuan di perkebunan Deli semasa kolonial. Bagian ini juga menjadi peristiwa sejarah yang tidak dibahas. (DS/WD)

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×