SEJARAH, DIALOGMASA.com – Keinginan Jan Pieterszoon (JP) Coen yang menggebu-gebu untuk menjadikan Batavia sebagai sebuah koloni yang diisi orang-orang Belanda saja tak tercapai. Peraturan yang melarang perkawinan campur antara para pegawai atau serdadu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), dengan perempuan pribumi (budak-budak dari Asia dan nusantara yang dibeli VOC) yang sempat ia terapkan, akhirnya tak berlaku lagi. Apalagi diketahui dua gubernur jenderal VOC sesudah JP Coen, Carel Reyniersz (1650 – 1653) dan Joan Maetsuycker (1653 – 1678) merupakan pendukung kawin campur.
Perkawinan campur antara lelaki Belanda dengan perempuan pribumi dinilai lebih menguntungkan karena perempuan-perempuan tersebut lebih terikat dengan tanah kelahirannya dan tidak tamak ketimbang para perempuan Belanda. Selain itu, anak-anak yang mereka hasilkan dinilai lebih bisa menyesuaikan diri dengan iklim tropis daripada anak-anak yang lahir dari orangtua berkulit putih.
Lewat perkawinan ini, para perempuan yang semula menjadi budak naik kelas dengan masuk ke dalam komunitas Eropa, memakai nama Belanda serta otomatis mengikuti kewarganegaraan sang suami. Di kemudian hari, merekalah yang memberi pengaruh paling besar dalam kehidupan sosial di Batavia.
Sejumlah nama perempuan berdarah campuran yang lahir atau keturunan dari perkawinan campuran tersebut berhasil masuk ke strata sosial lebih tinggi. Mereka menikah dengan pejabat tinggi VOC. Tak sedikit pula yang berhasil menyandang status ‘ibu negara’ karena kawin dengan gubernur jenderal yang merupakan jabatan tertinggi di Hindia Belanda. Tercatat, nama-nama seperti Johanna van Ommeren (Rijcklof van Goens), Pettronella Wondearer (Cornelis Speelman), Susanna van Outhoorn (Joan van Hoorn), Adriana Bake (Petrus van der Parra), dan Maria Grebel ( Willem Alting).
Sementara bagi pegawai laki-laki VOC, menikahi perempuan kaya dianggap bisa memperbaiki taraf hidup baik dari segi kedudukan maupun kekayaan. Sesuai hukum Belanda, jika suami meninggal, istri atau tunangan mendiang menjadi ahli waris paling utama. Saat itu, seorang perempuan bisa menikah beberapa kali dengan laki-laki yang berbeda. Hal ini seringkali terjadi karena si suami meninggal terlebih dahulu, mengingat selisih umur pasangan suami-istri yang sangat jauh semisal Francoise de Wit (14 tahun) yang menikah dengan Carel Reyniersz yang berumur 44 tahun. (DS)
Referensi
Reggie Baay, (2017), Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, Depok: Komunitas Bambu.
Jean Gelman Taylor, (2009), Kehidupan Sosial di Batavia, Jakarta: Masup Jakarta.