SUDUT PANDANG, DIALOGMASA.com – Pergantian Menteri Keuangan kepada Purbaya Yudhi Sadewa membuka babak baru dalam arah kebijakan fiskal dan moneter Indonesia. Salah satu langkah awal yang menonjol adalah penarikan dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) serta intensifikasi pembelian Surat Berharga Negara (SBN). Kebijakan ini, meski tampak teknokratis, punya implikasi nyata terhadap keberlangsungan ekonomi daerah, terutama bagi UMKM yang menjadi tulang punggung lapangan kerja.
Fiskal dan Moneter ala Purbaya, arahnya pada memperbesar ruang belanja pemerintah melalui likuiditas tambahan dari BI. Dana ini diharapkan bisa memperkuat transfer ke daerah, subsidi, dan belanja produktif.
Dengan BI rajin menyerap SBN, pemerintah bisa menjaga stabilitas pasar obligasi. Namun, risiko depresiasi rupiah tetap ada, terutama bila arus modal asing keluar akibat gejolak global yang terbukti dengan penurunan inverstor asing pada sektor keuangan khusus perbangkan dan bahan baku.
Kombinasi kebijakan ini secara teoretis menciptakan stabilitas jangka pendek bagi keuangan negara, tapi tantangan jangka panjangnya adalah bagaimana agar dana tersebut tidak hanya berputar di pusat dan sektor formal, melainkan benar-benar masuk ke level daerah.
Likuiditas perbankan yang meningkat membuka peluang kredit mikro lebih luas, dukungan fiskal bisa dialokasikan dalam bentuk subsidi bunga, program KUR, maupun pembiayaan digital bagi UMKM daerah dan UMKM memiliki fleksibilitas beradaptasi dengan kebutuhan lokal, sehingga lebih cepat menyerap manfaat stimulus.
Kebijakan fiskal dan moneter, juga memiliki tantangan ditengah Branding formal perusahaan besar masih mendominasi pasar, baik di sektor manufaktur, ritel, maupun jasa keuangan. UMKM sering tertinggal dalam akses promosi, teknologi, dan legalitas formal, sehingga kesulitan bersaing dengan perusahaan berjejaring nasional.
Di Tengah Branding korporasi besar menciptakan citra “modern, formal, terpercaya”. Di satu sisi, ini menarik investor dan konsumen kelas menengah-atas. Namun, bagi UMKM daerah, branding semacam ini justru bisa menghadirkan hambatan psikologis dan struktural, belum lagi selama ini UMKM kabupaten pasuruan masih dibalut prestise politik kekuasaan (Husserl, 1913 ; Ryle, 1949).
Untuk menjawab tantangan itu, UMKM perlu: Menguatkan branding lokal: narasi kedekatan budaya, keunikan produk, dan cerita komunitas bisa menjadi daya saing melawan formalitas korporasi besar. Digitalisasi pemasaran: platform e-commerce dan media sosial dapat memangkas jarak dengan konsumen tanpa harus bermodal besar.
Disamping itu perlu pemerintah daerah Mengakses fiskal daerah secara aktif mengalokasikan dana transfer pusat untuk inkubasi bisnis, pelatihan, dan pendampingan UMKM.
Di tengah branding formal perusahaan besar, UMKM harus membangun identitas sendiri yang otentik dan dekat dengan masyarakat. Jika pemerintah mampu mengarahkan fiskal ke sektor produktif daerah dan UMKM mampu memperkuat branding lokal, maka kebijakan ini tidak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga memperluas demokratisasi ekonomi di Indonesia.
Oleh : Agus Prianto