ARTIKEL, DIALOGMASA.com – Dalam suatu peristiwa duka, seringkali karangan bunga berjejer sebagai bentuk ekspresi dan ungkapan belasungkawa. Menurut KBBI, karangan bunga adalah macam-macam bunga yang disusun dan diatur menjadi suatu bentuk yang elok, tanda ucapan selamat, untuk hiasan atau tanda turut berduka cita.
Tradisi pengiriman karangan bunga sebagai tanda duka cita masih banyak ditemui, terutama jika yang meninggal adalah orang yang terhormat atau orang dari kalangan atas. Sebenarnya, ritual pengiriman karangan bunga saat peristiwa kematian menuai beragam sudut pandang hukum islam, sosiologis, dan filosofis.
Melansir dari Jurnal Papatung (Vol. 4, 2021), ada 4 sudut pandang seputar pemberian karangan bunga dalam acara kematian. Sudut pandang tersebut dijelaskan menurut Al-Quran, Sunnah Nabi, Fiqih, dan sosial kemasyarakatan.
- Sudut Pandang Al-Quran
Dari sudut pandang Al-Quran, pemberian karangan bunga dalam acara kematian adalah mubazir. Menurut Asyhab dari Malik, mubazir adalah membelanjakan sesuatu bukan pada tempatnya. Mubazir adalah kata lain dari al-Israf (berlebih-lebihan) yang haram hukumnya.
Sesuai kaidah ushul fiqih “al-Ashlu fi al-Nahfi Lit Tahrim”, kata “La Tubazzir” (Jangan berbuat mubadzir) adalah suatu larangan. Mereka yang membeli dan menyerahkan (karangan bunga) telah membelanjakan harta bukan pada tempatnya.
- Sudut Pandang Sunnah Nabi
Karangan bunga sebenarnya tidak dibahas secara signifikan dalam hadist-hadist Nabi. Hanya saja, ada banyak hadist lain yang menjelaskan tentang sunnah bagi orang yang bertakziah ke rumah duka.
Dalam sudut pandang sunnah Nabi, yang mesti diberikan kepada keluarga duka adalah makanan, bukan karangan bunga. Karangan bunga nantinya akan berakhir menjadi sampah dan menambah ‘kerja’ keluarga duka untuk membersihkannya.
Pernyataan tersebut selaras dengan pesan Nabi tentang etika bertakziah. Ucapan Nabi yang diriwayatkan dalam hadits al-Tirmidzi berkata: “Buatlah olehmu makanan untuk keluarga Ja’far, karena dia sedang disibukkan oleh pengurusan jenazah”.
- Sudut Pandang Fiqih
Pandangan ilmu fiqih dan ushul fikih tentang pemberian karangan bunga, sebenarnya tidak jauh berbeda dari pandangan Al-Quran dan sunnah Nabi. Beberapa hadist mengatakan bahwa saat bertakziah yang harus dilakukan adalah memberikan makanan kepada keluarga duka, bukan memberikan karangan bunga.
Jika keluarga duka yang menyiapkan makanan untuk para pelayat, maka perbuatan ini dilarang dalam agama. Tetapi jika dianalisis dari pendekatan Maqashid Syari’ah, jika tujuan pemberian karangan bunga untuk menghibur keluarga korban, maka diperbolehkan oleh syariat.
Hanya saja, jika hal tersebut dilakukan, maka juga tidak dibenarkan karena bisa menuju ke perbuatan mubazir yang diharamkan.
- Sudut Pandang Sosial Kemasyarakatan
Pemberian karangan bunga untuk acara kematian dalam sudut pandang sosial kemasyarakatan, terdapat pandangan positif dan negatif yang diuraikan.
Dampak positifnya, yaitu 1) Turut belasungkawa kepada keluarga duka, 2) Tidak dianggap mubazir bagi kalangan elit selama mereka masih mampu membelinya, 3) Tidak melanggar akidah selama tidak melalaikan kewajiban agama, 4) Bisa memberi rezeki bagi pihak penjual.
Dampak negatifnya, yaitu 1) Dianggap sum’ah dan riya’, 2) Dianggap budaya kaum elite class, 3) Menjadi perbuatan yang makruh dalam agama, 4) Mubazir karena akan menjadi sampah dan dibuang.
Dari keempat pandangan di atas, faktanya sampai sekarang karangan bunga masih sering dijumpai saat acara kematian. Melansir dari Jurnal Studi Keislaman (2019) menjelaskan bahwa ritual pemberian karangan bunga saat acara kematian berperan dalam memberikan penghormatan dan membangun komunikasi yang tidak terputus. (Ida Farehah)