Amnesti, Abolisi, dan Arah Politik Hukum di Era Kekuasaan Baru

Diary Warda
3 Min Read

Amnesti, Abolisi, dan Arah Politik Hukum di Era Kekuasaan Baru

Diary Warda
3 Min Read

OPINI, DIALOGMASA.com – Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi terhadap Thomas Lembong kembali menghidupkan perdebatan publik tentang hak prerogatif Presiden dalam konteks demokrasi. Tidak bisa dipungkiri, amnesti dan abolisi adalah instrumen konstitusional, namun di saat yang sama sarat kepentingan politik dan menyimpan potensi konflik etik dalam praktik kenegaraan.

Konstitusi kita, tepatnya Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, menyebut bahwa Presiden dapat memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Namun, hingga kini, kita masih menggunakan UU Darurat No. 11 Tahun 1954, sebuah produk hukum zaman transisi yang belum direvisi secara komprehensif. Celah ini memperlihatkan lemahnya basis hukum teknis dalam pemberian pengampunan oleh Presiden.

Jika kita telaah lebih dalam, hak prerogatif ini—dalam konteks kekuasaan negara—berakar dari pemikiran John Locke, yang menyebut prerogatif sebagai kekuasaan untuk bertindak berdasarkan diskresi demi kemaslahatan umum, meskipun harus keluar dari ketentuan hukum yang ada.

Di sinilah letak paradoksnya: keputusan yang sah secara konstitusi, namun bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik bila tidak dijalankan secara transparan dan akuntabel.

Sebagaimana diungkap Mahfud MD (2009) amnesti dan abolisi adalah bagian dari politik hukum sebagai legal policy, yaitu kebijakan negara dalam pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum.

Tetapi, sebagaimana disampaikan Bagir Manan (lih. NA UU Pemberian Amnesti dan Abolisi) , hak prerogatif adalah bentuk kekuasaan yang residual—sifatnya tersisa dan perlu digunakan dengan hati-hati. Jika digunakan semata-mata sebagai manuver politik, maka yang kita hadapi adalah politik kekuasaan, bukan politik hukum.

Dalam lanskap politik pasca-Pemilu 2024, PDIP masih menjadi kekuatan mayoritas di DPR. Sementara itu, Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih menghadapi tantangan besar untuk membangun relasi produktif dengan kekuatan legislatif. Dalam konteks ini, pemberian amnesti dan abolisi terhadap tokoh-tokoh kunci yang terkait dengan partai besar bisa dipahami sebagai bentuk kompromi dan sinyal kedekatan antar elite Politicus.

Namun kita patut waspada. Hubungan “mesra” antar penguasa ini berpotensi melahirkan model politik rolling of elites (Vilfredo Pareto, 1948) yang dimaknai sebagai sirkulasi kekuasaan antar elite yang dapat menjauhkan hukum dari prinsip keadilan substantif. Publik tentu tak ingin amnesti dan abolisi menjadi alat tukar dalam negosiasi politik. Kita juga tak ingin politik hukum menjadi alat kosmetik untuk mempercantik wajah kekuasaan.

Yang kita butuhkan adalah politik hukum yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan sekadar transaksi elite. Setiap kebijakan hukum, termasuk pemberian amnesti dan abolisi, harus dibangun atas prinsip keterbukaan, keadilan, akuntabilitas, dan kepentingan umum.

Demokrasi tidak akan tumbuh subur jika hukum hanya menjadi alat elite untuk memperkuat posisi politik. Maka, tugas kita hari ini adalah mendorong perbaikan regulasi, memperkuat fungsi kontrol legislatif, dan membangun kesadaran publik bahwa hukum bukan hanya urusan penguasa, melainkan hak semua warga negara, Merdeka..!!

Penulis: Agus Prianto, MPA (Dosen Kebijakan Publik Universitas Yudharta)

Leave a Comment
error: Content is protected !!
×

 

Hallo Saya Admin Dialogmasa !

Jika Ada Saran, Kritikan maupun Keluhan yuk jangan Sungkan Untuk Chat Kami Lewat Pesan Pengaduan Dibawah ini Ya 

×