OPINI, DIALOGMASA.com – Demonstrasi rakyat adalah wajah nyata demokrasi sebagai proses asprasi rakyat yang tertutup. Hari ini fenomena bukan lagi aspirasi yang tertutup, melainkan rasa geram rakyat atas krisis kepedulian (krisis kepekaan sosial) pejabat publik yang dikemas dengan tarian dan kesombongan dengan mentololkan rakyat Indonesia.
Hari ini, demonstrasi hadir sebagai “suara jalanan” ketika kebosanan rakyat atas wakil rakyat yang justru tidak amanah dan peduli pada kondisi rakyat sehingga demonstrasi dengan kode 13 12 sebagai simbul gerakan kritis atas tindakan pemerintah yang korup, represif dan bersebrangan dengan kepetingan rakyat.
Kita flasback Sebagai bangsa yang ber-budaya, terutama nilai-nilai Jawa yang selama ini ikut membentuk kepribadian bangsa yang nerimo ing pandum (menerima bagian dengan ikhlas), rukun agawe santoso (kerukunan membuat kuat), dan semangat harmoni dan keseimbangan yang di tandai dengan karakter masyarakat yang sabar, menghindari konflik terbuka, dan mendahulukan kerukunan.
Namun, kesabaran rakyat ada batasnya. Dari sanubari bangsa lahir sebuah dorongan kolektif, bahwa ketika keadilan dipinggirkan, maka muncul perlawanan bersama. Semangat itu berangkat dari rasa kebangsaan: senasib sepenanggungan.
Inilah mengapa demonstrasi kerap dipahami bukan hanya sebagai gerakan politik, melainkan juga sebagai panggilan moral rakyat untuk mengambil alih kekuasaan atas nama rakyat sebab pemerintah melanggar perjanjian rakyat (Pactum Subjectionis)
Kebijakan publik idealnya adalah keputusan pemerintah untuk menjawab kebutuhan rakyat. Tetapi realitasnya, kebijakan sering kali menjadi hasil kompromi politik yang sarat kepentingan elite.
Muncul jurang antara public interest (kepentingan rakyat) dengan political interest (kepentingan kekuasaan). Ketika jurang ini melebar, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara.
Demonstrasi kemudian menjadi “alarm moral” sebagai dorongan dari alam bawah sadar untuk bersikap atas kesalahan dalam proses kebijakan. Sebagaimana dikatakan Albert Hirschman (1970), rakyat bisa memilih exit (keluar dari sistem), loyalty (tetap patuh), atau voice (bersuara) yang artinya bahwa demonstrasi adalah pilihan voice—suara perlawanan ketika dua pilihan lain tidak lagi relevan.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan tegas menyebut bahwa keuangan negara dikelola secara transparan, akuntabel, efisien, efektif, dan bertanggung jawab. Sayangnya, dalam praktik, prinsip keadilan dan kepatutan sering kali terpinggirkan.
Fenomena kenaikan honor dan tunjangan DPR RI, misalnya, memunculkan protes rakyat. Dan fenomena itu bukan semata keputusan legislatif, melainkan bagian dari manuver eksekutif untuk mengamankan agenda politiknya. Di balik setiap kebijakan anggaran, ada dinamika principal–agent.
Namun problemnya: rakyat sebagai principal menitipkan mandat, tetapi pemerintah sebagai agent kerap bekerja untuk kepentingan lain bukan atas nama rakyat.
Lebih jauh lagi, terdapat logika transaksionalisme politik dalam pengelolaan anggaran semakin menajam.
Program-program seperti MBG, Danantara, atau Koperasi Merah Putih tak jarang dipersepsikan rakyat sebagai hasil kompromi elite dan bukan kebutuhan publik. Di sinilah rakyat merasa diperlakukan sekadar sebagai objek, bukan subjek dalam pengelolaan negara.
Fenomena demonstrasi rakyat seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas, melainkan sebagai mekanisme koreksi demokrasi. Demonstrasi adalah cara rakyat menagih janji transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengelolaan negara.
Dengan demikian, demonstrasi bukan sekadar teriakan massa di jalanan, melainkan cermin kegagalan komunikasi kebijakan. Gelombang demonstrasi sebagai pesan bahwa suara rakyat belum terakomodasi dengan baik dalam kebijakan publik.
Oleh: Agus Prianto