SUDUT PANDANG, DIALOGMASA.com – Pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi sebuah misi mulia untuk pembangunan yang dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) yang mencakup 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
SDGs dirancang untuk mengatasi berbagai tantangan global seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang berhubungan erat dengan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan bumi.
Prinsip SDGs menggarisbawahi bahwa isu-isu lingkungan, sosial dan ekonomi saling terkait dan harus ditangani secara holistik dan terintegrasi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan di seluruh dunia. Namun, dalam implementasinya sampai dengan saat ini, tentu SDGs tidak luput dari berbagai tantangan.
Sejak diluncurkan pada tahun 2015, hanya 15% indikator terukur untuk SDGs yang berada di jalur yang sesuai, sementara banyak area penting justru menyimpang dari arah yang diharapkan (Gong, 2024).

Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan perkembangan pencapaian SDGs pada tahun 2023. Banyak target yang masih “jauh dari target” atau bahkan “sangat jauh dari target,” dan beberapa bahkan mengalami kemunduran. Target-target ini juga banyak terlihat menyimpang di negara-negara berkembang.
Dalam implementasinya, penerapan Sustainable Development Goals (SDGs), utamanya di negara-negara berkembang, memiliki beberapa kelemahan yang perlu disoroti sebagai berikut: Pertama SDGs terlalu fokus pada persoalan tata kelola, salah satu kelemahan utama dalam SDGs adalah fokusnya yang terlalu mendalam pada masalah tata kelola dan kerjasama antaraktor untuk mencapai SDGs tanpa menyelami aspek-aspek lain yang juga penting seperti faktor kondisi finansial ekonomi yang kemudian berdampak pada tata kelola atau sumber daya yang dimiliki oleh aktor tersebut.
Kerangka mendasar SDGs menekankan bahwa SDGs dapat tercapai jika struktur tata kelola yang baik dibangun di berbagai tingkatan pemerintahan, tetapi dari embrio kelahirannya tidak memberikan penekanan yang cukup pada kendala struktural yang dihadapi negara-negara berkembang.
Misalnya, tidak ada pembahasan mendalam tentang bagaimana perubahan sistem sosial dan ekonomi yang disesuaikan dengan permasalahan tiap-tiap aktor perlu diadopsi agar SDGs dapat diwujudkan secara efektif. Dalam banyak hal, tata kelola adalah kunci, namun, kompleksitas sosial dan ekonomi juga merupakan determinan penting dalam pencapaian SDGs (Hariram et al., 2023).
Kedua, SDGs kurang memperhatikan perspektif negara berkembang, SDGs cenderung mengabaikan perspektif negara-negara berkembang yang mungkin menghadapi tantangan yang unik atau kontekstual dalam mencapai target SDGs, terutama ketika berbicara mengenai teknologi dan kapasitas institusi tata kelola pemerintahan.
Sebagai contoh, negara-negara berkembang menghadapi masalah besar dalam hal akses teknologi ramah lingkungan yang mahal. Dalam banyak kasus, negara-negara ini tidak memiliki sumber daya untuk membeli atau memanfaatkan teknologi tersebut (Chankseliani & McCowan, 2020).
Dalam hal ini, artikel “Paradox of Sustainability” yang ditulis Gita Wirjawan menjelaskan terkait tantangan pendanaan dan teknologi yang harus dihadapi oleh negara berkembang yang dapat dapat memperlambat upaya mencapai SDGs yang mana teknologi energi terbarukan memerlukan biaya yang lebih tinggi daripada teknologi konvensional (lihat Gambar 2).
Maka dari itu, setidaknya terdapat beberapa hal yang bisa dievaluasi dari SDGs. SDGs dapat diperkuat dengan memperluas pandangannya mengenai tata kelola yang lebih fleksibel dan kontekstual, disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik masing-masing negara, utamanya negara-negara berkembang.
Daripada hanya menekankan pentingnya tata kelola global yang terstandarisasi, SDGs seharusnya juga mengakui keberagaman situasi di setiap negara yang memerlukan pendekatan yang berbeda. Misalnya, tantangan yang dihadapi oleh negara maju dengan kapasitas dan sumber daya yang lebih besar tentu berbeda dengan negara berkembang yang masih berjuang dengan masalah kemiskinan, ketidaksetaraan, dan pembiayaan. Oleh karena itu, tata kelola SDGs harus dilihat dari berbagai perspektif dan disesuaikan dengan kondisi spesifik negara yang bersangkutan.
Selain itu, dalam bagian yang membahas kemitraan global, SDGs terlalu menekankan pentingnya model kemitraan yang distandarisasi yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan unik masing-masing negara.
Kemitraan global yang didorong oleh standar seragam bisa saja mengabaikan konteks lokal dan menyebabkan kesenjangan dalam efektivitas implementasi SDGs. Sebaliknya, negara-negara seharusnya didorong untuk membangun kemitraan yang lebih terfokus dan berbasis konteks yang memperhitungkan tantangan lokal dan prioritas mereka.
Setiap negara sebaiknya memiliki kebijakan kemitraan yang disesuaikan dengan masalah spesifik yang mereka hadapi, agar solusi yang dihasilkan lebih relevan dan efektif dalam mengatasi permasalahan di lapangan. Pendekatan ini memungkinkan negara-negara untuk merancang strategi yang lebih inklusif dan sesuai dengan kebutuhan mereka, tanpa merasa tertekan untuk mengikuti kemitraan global yang kurang sesuai.
Oleh: Bintang Corvi Diphda
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya
bintangcorvi058@gmail.com

