ARTIKEL, DIALOGMASA.com — Di tengah era disrupsi yang serba cepat dan penuh perubahan, model birokrasi permanen seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering mendapat sorotan. Banyak orang membandingkannya dengan sektor swasta yang dinamis, lalu muncul pertanyaan: masih relevankah sistem yang kerap dianggap kaku ini?
Bagi Endry Putra, Assistant Professor di Departemen Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang, jawabannya bukan sekadar “ya” atau “tidak”. Ia menilai, yang dibutuhkan bukan penghapusan, tapi pembaruan besar-besaran. Menurutnya, di balik citra kaku itu, PNS punya peran penting sebagai penyangga stabilitas negara. Hanya saja, sistem ini harus mampu bertransformasi agar tetap cocok dengan kebutuhan zaman.
PNS Sebagai Penjaga Stabilitas: Warisan Weber yang Masih Penting
Salah satu alasan kuat mempertahankan PNS adalah perannya menjaga jalannya pemerintahan tetap stabil, terutama di negara demokrasi yang pemimpinnya berganti setiap lima tahun.
“Untuk kondisi saat ini, konsep birokrasi permanen seperti PNS masih memiliki relevansi, terutama jika dilihat dari perspektif continuity of governance (kontinuitas pemerintahan) dan institutional memory (ingatan kelembagaan),” jelas Endry saat diwawancarai, Jumat (8/8/2025).
Ia mengutip teori birokrasi ideal Max Weber yang menekankan pentingnya aparatur tetap dengan kompetensi terstandar. Menurutnya, ingatan kelembagaan ini sangat berharga. Bayangkan jika seorang menteri baru datang dengan visi baru—para PNS yang telah lama bekerja punya data, rekam jejak, dan pengalaman teknis yang bisa menjelaskan kenapa kebijakan serupa pernah berhasil atau gagal di masa lalu. Tanpa mereka, risiko mengulang kesalahan akan jauh lebih besar.
“Tujuannya adalah untuk menjamin konsistensi kebijakan publik jika terjadi pergantian kepemimpinan politik. Tanpa itu, setiap pergantian kekuasaan bisa berarti perubahan total yang berisiko menciptakan kekacauan dalam pelayanan publik,” tambahnya.
Saatnya PNS Lebih Lincah dan Adaptif
Meski perannya penting, Endry menegaskan, PNS tidak bisa hanya mengandalkan alasan stabilitas untuk bertahan. Perkembangan teknologi, digitalisasi, dan tingginya ekspektasi publik menuntut adanya perubahan besar.
“Relevansi itu bersyarat. Sesuai amanat Undang-Undang ASN, PNS harus mampu bertransformasi menjadi aparatur yang adaptive, agile, dan accountable. Model permanen harus dilengkapi dengan fleksibilitas sistem, pelatihan berkelanjutan, serta kinerja yang terukur,” tegasnya.
Adaptive berarti mau terus belajar dan mengembangkan diri, tidak hanya mengandalkan ilmu saat pertama kali diangkat. Agile atau lincah artinya mampu bekerja lintas sektor untuk memecahkan masalah, bukan hanya terkurung di dalam struktur departemen masing-masing. Sementara accountable berarti kinerja harus dinilai dari hasil nyata bagi masyarakat, bukan sekadar absensi atau penyerapan anggaran.
Menyatukan Semangat “Abdi Negara” dan Profesionalisme
Endry juga menilai, pembaruan harus sampai pada tataran identitas PNS. Selama ini, ASN dikenal sebagai “abdi negara”, istilah yang sarat nilai pengabdian.
“Secara historis, istilah abdi negara berasal dari semangat pengabdian, di mana pegawai pemerintah dipandang sebagai pelayan negara dan masyarakat. Terminologi ini kental dengan nuansa moral dan loyal, tetapi tidak selalu identik dengan kinerja berbasis kompetensi,” jelasnya.
Untuk melengkapinya, ia memperkenalkan konsep “pekerja profesional negara”—pegawai yang punya keahlian jelas, mengikuti kode etik profesi, memiliki sertifikasi, dan capaian kerjanya bisa diukur. Konsep ini sejalan dengan pandangan akademisi seperti Andrew Abbott dalam The System of Professions yang menekankan keahlian sebagai inti dari sebuah profesi.
“Dalam konteks modern, identitas pekerja profesional negara perlu diperkuat. Tujuannya bukan untuk menghilangkan semangat pengabdian, melainkan memadukannya. Dengan kata lain, ASN tidak hanya ‘mengabdi’, tetapi juga harus ‘mampu’ dan ‘terukur’ dalam memberi pelayanan publik,” kata Endry.
Risiko Jika Semua PNS Diganti Kontrak
Bagaimana jika Indonesia menghapus PNS dan sepenuhnya mengganti dengan pegawai kontrak? Endry menyebut, secara teori ini dikenal sebagai project-based governance, tapi risikonya sangat besar.
“Risikonya signifikan. Pertama, hilangnya stabilitas dan ingatan kelembagaan karena pegawai berganti terlalu cepat. Kedua, potensi politisasi birokrasi meningkat drastis, karena kontrak kerja bisa dengan mudah dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan yang sedang berkuasa. Ini berbahaya bagi netralitas birokrasi,” tegasnya.
Risiko lainnya adalah terganggunya pelayanan publik jangka panjang—seperti perencanaan kota, pengembangan kurikulum, atau program kesehatan nasional—yang memerlukan kesinambungan lintas dekade.
Jalan Tengah yang Lebih Aman
Bagi Endry, masa depan birokrasi Indonesia bukan pilihan antara mempertahankan pola lama atau meniru sepenuhnya gaya sektor swasta.
“Jalan tengah adalah solusinya: mempertahankan aparatur permanen sebagai inti penjaga stabilitas dan ingatan kelembagaan, sambil secara agresif membangun sistem manajemen yang fleksibel, berbasis kinerja, dan profesional di sekelilingnya,” tutupnya. (RY/WD)